[Interview Section] Prof.Hasjim Djalal : Sejarah Munculnya Upaya Diplomasi Indonesia Dalam Mengelola Konflik Sengketa Wilayah Di Kepulauan Spratly

Sebagai pelengkap, mengingat banyaknya pembaca yang mengomentari dan tertarik pada isu yang pernah saya tulis dalam Working Paper : Indonesia dan Isu Strategis Laut Cina Selatan (Spratly Islands Dispute) , berikut adalah hasil wawancara saya yang pada kesempatan waktu itu datang bersama rekan yang sedang mengerjakan projek mengenai isu ini, dengan salah satu pakar hukum laut dari Indonesia yaitu Prof. Hasjim Djalal, sekedar informasi bahwa Prof. Hasjim merupakan ayah dari Dino Patti Djalal (mantan juru bicara kepresidenan untuk urusan luar negeri, dan sekarang menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat).

Wawancara ini dilakukan di kantor Prof. Hasjim di daerah SCBD, Jakarta, pada pukul 16.00 – 17.30. Hal ini dilakukan dalam rangka mencari tambahan informasi untuk rekan dalam rangka menyusun penelitian mengenai isu manajemen konflik sengketa kepulauan Spratly.

Pertama-tama, beliau (Prof. Hasjim) menjelaskan mengenai latar belakang munculnya inisiatif Indonesia untuk terlibat dalam proses manajemen konflik di kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan. Inisiatif ini muncul akibat tingginya intensitas dan potensi konflik yang ada di sana, terutama mengacu pada konflik pada tahun 88 yang terjadi antara Vietnam dan Cina. Lalu juga pada aspek aktor konflik, kepulauan Spratly melibatkan lebih dari 5 aktor negara yang memiliki kepentingannya masing-masing, sehingga kompleksitas pun semakin tinggi dan cenderung protracted. Instabilitas kawasan ini secara tidak langsung menjadi sebuah ancaman tersendiri bagi Indonesia yang pada saat itu sedang melakukan project pembangunan jangka panjang. Yang pertama kali terlintas dalam benak Indonesia adalah : “Jika ingin membangun sebuah negara, kondisi lingkungan sekitar (concentric circle) merupakan hal utama yang harus diperhatikan”. Atas dasar pemikiran ini, Prof. Hasjim Djalal yang pada waktu itu menjadi pejabat di Kementerian Luar Negeri, memprakarsai munculnya sebuah forum kerjasama informal untuk memberi kesempatan kepada semua aktor konflik agar bisa bernegosiasi tanpa menggunakan kekuatan militer. Namun memang membuat upaya seperti ini bukan lah hal yang mudah dan tidak bisa dilakukan seorang diri tanpa bantuan dari pihak lain.

Banyak negara tertarik akan upaya yang hendak dilakukan Indonesia pada saat itu, terutama negara-negara industri maju yang memiliki kepentingan akan jalur perdagangan laut di Laut Cina Selatan. Negara-negara yang pernah menawarkan kerjasama / sponsor antara lain adalah Jepang, Kanada dan Negara Nordik. Melihat antusias negara-negara besar dalam menawarkan bantuannya, Indonesia semakin mantap untuk menyeleggarakan upaya manajemen konflik seperti ini. Namun yang menjadi permasalahan adalah siapa yang ‘terpilih’ menjadi sponsor untuk menyelenggarakan upaya ini ? Akhirnya pilihan jatuh ke tangan Kanada melalui Univ.British Columbia dan CIDA. Pilihan ini tidak jatuh begitu saja, melainkan atas dasar berbagai pertimbangan politis maupun sejarah. Indonesia menilai bahwa untuk menyelenggarakan sebuah forum kerja sama, baik formal maupun informal, diperlukan mediator yang mampu bersifat netral. Netral dalam hal ini tidak hanya berarti ketidakberpihakan, namun juga berarti bahwa negara mediator tidak memiliki sejarah buruk di kawasan (Jepang memiliki sejarah buruk di kawasan Asia Tenggara atas imperialisme nya pada era Perang Dunia 2). Maka pilihan jatuh ke tangan Kanada, dikarenakan sifat kenetralan tersebut dan juga Prof. Hasjim pernah memegang jabatan sebagai duta besar Indonesia untuk Kanada, sehingga beliau kenal dengan banyak pejabat pemerintahan maupun kalangan akademisi.

Sponsor Kanada melalui CIDA dan Univ.British Columbia berlangsung selama 10 tahun, sesuai dengan perjanjian. Upaya mediasi itu sendiri pertama kali dimulai pada tahun 1990. Mediasi konflik tentu saja tidak akan berjalan lancar jika para aktor konflik tidak menerima intervensi dari mediator, namun pada saat itu semua pihak termasuk Cina, menerima dan menyambut baik upaya Indonesia seperti ini. Pada awalnya memang Cina merasa ragu, hal ini dikarenakan akan rasa takut Cina terhadap negara-negara lain yang tergabung dalam ASEAN akan bersatu melawannya di forum negosiasi, namun Indonesia menjamin bahwa forum ini bersifat informal dan bukan atas nama ASEAN. Begitu pula dengan Taiwan yang memiliki klaim di kepulauan Spratly, Taiwan semangat dan antusias dikarenakan pada forum ini lah mereka dianggap sebagai sebuah negara sendiri, bukan atas nama bagian dari Republik Rakyat Cina.

Upaya perundingan terus berjalan dan diadakan 1 tahun sekali. Perundingan ini melibatkan semua negara ASEAN dalam upayanya memberikan sumbangsih saran dan pandangan teknis mengenai proses negosiasi overlapping claim area di Kepulauan Spratly. Masalah sempat muncul ketika Kanada pada tahun 2000 mengakhiri sponsor nya, hal ini menjadi masalah bagi negara-negara seperti Laos dan Kamboja di bidang dana untuk hadir dalam setiap perundingan. Untuk menyelenggarakan forum pertemuan seperti ini setiap tahunnya, dibutuhkan dana yang cukup besar. Akhirnya Pemerintah Cina dan Taiwan bersedia menjadi sponsor bagi negara-negara yang kurang mampu secara ekonomi untuk hadir setiap tahun dalam perundingan ini. Cina pun lebih menekankan prinsip bilateralisme dalam setiap proses perundingan, mereka sebisa mungkin menghindari multilateralisasi dalam proses perundingan ini.

Proses perundingan terus berjalan, terakhir diadakan pada bulan November tahun 2010 lalu di Bandung. Perundingan tersebut merupakan perundingan yang ke-20. Walaupun sampai saat perundingan ini masih belum mendapatkan persetujuan maupun penetapan batas-batas wilayah, namun upaya Indonesia dalam meredam konflik dapat dikatakan berhasil. Terlihat dari antusiasme para aktor konflik untuk berunding yang mengindikasikan telah terbangunnya sebuah confidence building untuk melakukan negosiasi. Confidence building adalah hal yang sangat penting dibutuhkan setiap negara yang ingin berunding dalam menyelesaikan sebuah masalah. Niscaya dengan terus dilakukannya proses perundingan ini, kelak dapat membuahkan hasil dan mampu menjaga stabilitas keamanan politik dan ekonomi di kawasan Laut Cina Selatan sebagai jalur strategis perdagangan laut internasional.

Selain membahas mengenai upaya Indonesia dalam sengketa kepulauan Spratly, kami pun sempat membahas secara singkat mengenai permasalahan overlapping claim area antara Indonesia dan Malaysia di wilayah perairan Blok Ambalat. Pembahasan ini merupakan pembahasan yang sedang saya lakukan saat ini dalam sebuah penelitian. Secara keseluruhan, Prof. Hasjim merupakan sosok yang sangat baik, cerdas dan rendah hati. Beliau sangat menguasai setiap permasalahan yang menyangkut hukum laut internasional, beliau pun sangat terbuka terhadap setiap generasi muda yang memiliki interest dan ketertarikan terhadap isu-isu seperti ini. Dan pada akhirnya, rangkaian proses wawancara kami akhiri mengingat rencana Prof. Hasjim yang pada saat itu pergi menjemput Dino di bandara.

 

Regards, Eduard.

Working Paper : Amerika Serikat dan Krisis Finansial Asia 97-98

Selayang Pandang Mengenai Krisis Finansial Asia

Krisis ekonomi asia pada tahun 1997 tidak hanya memberikan dampak pada negara-negara di kawasan Asia, namun memberikan dampak secara global. Kawasan Asia pada periode tersebut merupakan sebuah kawasan yang dapat dikatakan mengalami keajaiban pada pertumbuhan ekonominya.

Kawasan Asia pada periode tersebut berubah dari sebuah kawasan yang menciptakan keajaiban menjadi kawasan yang membutuhkan keajaiban. Krisis tersebut terjadi karena beberapa hal, kelemahan sistem keuangan dan ditambah lagi dengan sistem pemerintahan yang kurang memadai[1]. Terlebih lagi, ada unsur kelengahan dari negara-negara di Asia saat itu, dimana negara-negara tersebut terlalu fokus terhadap hal-hal politik dan hubungan internasional. Seperti Indonesia yang mulai memainkan peranan dalam dunia hubungan internasional[2].

Krisis diawali dengan jatuhnya mata uang Baht Thailand pada juni 1997, akibat ulah para spekulan. Pada saat itu spekulan menjual mata uang Bath dengan harapan dapat menurunkan harga bath yang  berharga 26 bath per 1 dollar amerika.[3] Pada akhirnya keinginan para spekulan tersebut berhasil. Karena banyak bath yang keluar, maka pemerintah Thailand harus membeli mata uang bath dan menghabiskan cadangan sebesar US$6,8. Pada januari 1998, harga Bath jatuh dengan harga 54 bath  per dollar Amerika.[4] Jatuhnya mata uang bath dengan cepat diikuti jatuhnya mata uang Peso Filipina, Dollar Singapura dan Ringgit Malaysia yang terlihat sebagai sebuah efek domino, karena jatuhnya mata uang tersebut berantai antar satu sama lain.

Dampak Umum dari krisis Finansial Asia Terhadap Kawasan Asia Pasifik

  • Dampak politik

Krisis finansial Asia membawa perubahan yang besar dalam wilayah asia pasifik. Dengan adanya krisis, paham – paham seperti kapitalisme dan demokrasi menyebar dalam pemerintahan seluruh negara.

Setelah krisis berlangsung banyak negara yang menggunakan paham kapitalisme sebagai sistem perekonomian yang digunakan. Negara – negara yang sekarang mendapat julukan NIC’s (New Industrial Countries) yaitu Korea selatan, Singapura, Hongkong, Taiwan sukses dalam membangun perekonomian wilayah. Bukan hanya negara – negara maju tersebut, negara – negara seperti Indonesia, Thailand juga mulai membuka perekonomian untuk menarik investor asing masuk untuk menanamkan modal. Seperti contoh dapat dilihat pada contoh berkembangnya bisnis properti di Indonesia yang diminati oleh para konglomerat dan bank – bank pemerintah. Perkembangan bisnis mulai berkembang pada tahun 2003. Nilai kapitalisme bisnis mengalami lonjakan pada tahun 2005 dengan harga Rp 91,01 triliun dan meningkat hampir 10 kali lipat dari tahun 2000 yang berjumlah 9, 51 triliun.[5]

Selain menyebarnya paham kapitalisme, ideologi yang menjadi trend adalah penerapan demokrasi dalam sistem pemerintahan negara-negara asia, khususnya yang terkena dampak krisis terbesar seperti Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan. Mayoritas sistem pemerintahan negara tersebut sebelum krisis merupakan pemerintahan yang bergaya otoritarianisme. Pemerintahan model tersebut sangat mengekang kebebasan dalam berpolitik. Media massa dilarang berbicara. Rakyat harus seminimal mungkin berperan dalam pemerintahan. Jika terdapat masalah dalam pemerintahan maka penyelesaian dengan cara militer yang otoriter.

Terjadinya krisis menjadi sebuah kesempatan untuk menumbangkan rezim otoritarian tersebut. Negara – negara tersebut mengalami perubahan rezim yang pada awalnya otoritarian berubah menjadi demokrasi. Seperti contoh krisis pada tahun 1998, menumbangkan rezim soeharto yang telah berkuasa hampir 32 tahun dalam pemerintahan Indonesia. Rezim tersebut tumbang pada saat kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 dan digantikan oleh wakil presiden yaitu BJ. Habibie dengan sistem pemerintahan yang berlandaskan demokrasi.

Dampak yang paling terlihat pada masa sekarang adalah muncul kekuatan baru yaitu China yang mendominasi dunia terutama dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi China meningkat secara luar biasa dalam decade lima tahun terakhir dengan produk domestic bruto mencapai 24,66 triliun atau naik 65,5% dibandingkan 2002.[6] Total pendapatan pemerintah mencapai 5,13 triliun yuan, naik menjadi 171% dibandingkan 2002 sedangkan cadangan mata uang asing sebesar USD1,52 triliun.[7] Pertumbuhan drmastis inilah yang membawa China sebagai negara yang menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan hingga saat ini masih terus berkembang berikut ini terdapat tabel yang melukiskan perdagangan China yang terus meningkat dari tahun 1999 hingga 2008.[8]

China‘s Trade with the World ($ billion)
Note: PRC exports reported on an free-on-board basis; imports on a cost, insurance, and freight basis
Sources: PRC National Bureau of Statistics and PRC General Administration of Customs, China’s Customs Statistics
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Exports 194.9 249.2 266.2 325.6 438.2 593.3 762.0 969.1 1,218.6 1,428.5
% change 6.1 27.8 6.8 22.4 34.6 35.4 28.4 27.2 25.7 17.2
Imports 165.7 225.1 243.6 295.2 412.8 561.2 660.0 791.6 955.8 1,133.1
% change 18.2 35.8 8.2 21.2 39.8 36.0 17.6 20.0 20.8 18.5
Total 360.6 474.3 509.8 620.8 851.0 1,154.6 1,421.9 1,760.7 2,173.8 2,561.6
% change 11.3 31.5 7.5 21.8 37.1 35.7 23.2 23.8 23.5 17.8
Balance 29.2 24.1 22.5 30.4 25.5 32.1 102.0 177.5 262.2 295.5

Ketangguhan ekonomi China juga terlihat ketika krisis financial asia melanda negara – negara asia. Di samping stabilnya perekonomian China, posisi China sangat jelas dan memberikan pembelaan dalam pemberian bantuan bahwa paket bantuan harus bersifat substansial dan rendah syarat bagi negara yang terkena krisis. China mendasarkan bantuan yang diberikan atas dasar rasa solidaritas antara negara – negara asia yang sedang mengalami permasalahan dan rasa solidaritas ini diimplementasikan dengan niat untuk memberikan bantuan terhadap negara – negara Asia. Kritik serta pembelaan yang ingin disampaikan China, dikatakan dalam forum G-7 untuk mengkritik bantuan terhadap negara – negara IMF.[9] Karena prinsip inilah maka negara – negara asia lebih memilih untuk lebih mengeratkan hubungan dengan cina dibandingkan dengan negara di luar kawasan.

Selain munculnya hubungan yang erat dengan China, muncul inisiatif negara – negara asia untuk menciptakan kesadaran kawasan untuk membentuk suatu regionalism antara negara – negara Asia. Keadaan regionalisme muncul karena pembelajaran yang dipelajari karena krisis yang menimpa negara – negara Asia. Dalam keadaan krisis yang lalu, negara Asia merasa bahwa tidak ada yang dapat menolong untuk keluar dari krisis tersebut yang berakibat negara – negara tersebut harus meminta pertolongan dari pihak luar. Karena pengalaman tersebut maka mulai lah muncul kesadaran untuk menciptakan organisasi regional yang kuat untuk dapat menolong serta menjadi wadah untuk menyatukan negara – negara Asia.

Salah satu organisasi regional yang diperkuat adalah ASEAN (Association of South East Asia) yang beranggotakan negara – negara asia tenggara. Pengembangan ASEAN dilakukan lagi menjadi ASEAN + 3 dimana anggota ASEAN ditambah menjadi 3 negara Asia Timur yaitu Jepang, China, Korea Selatan. Bahkan rencananya, akan terjadi penyatuan ASEAN ke dalam ASEAN community yang membawa dampak yang besar karena dapat menciptakan pasar yang mengcakup wilayah sejumlah 4,5 juta km2 dengan populasi sekitar 500 juta jiwa dengan total perdagangan yang lebih dari 720 milyar dollar per tahun.[10]

Di satu sisi memang krisis ini membawa negara Asia ke dalam keterpurukan ekonomi namun krisis ini juga membawa dampak yang baik bagi masa depan negara asia. Pada masa sekarang terlihat bahwa regionalism seperti ASEAN sudah mulai dimantapkan. Banyak negara – negara Asia menjadi negara garda terdepan dalam ekonomi seperti China, Singapura, Jepang, Korea selatan. Namun yang lebih penting lagi sudah mulai adanya kesadaran bersama antara negara Asia itu sendiri.

  • Dampak ekonomi

Krisis ekonomi bermula bulan Juli 1997 di Bangkok[11]. Krisis mula-mula berimbas pada krisis mata uang, dimana pada saat itu permintaan akan dollar jatuh pada kurs 26 baht per dollar, yang sangat melebihi pasokan. Baht Thailand terdepresiasi hingga 25 % terhadap dolar Amerika Serikat dan menimbulkan hiper inflasi dan menghambat daya saing internasional sehingga krisis mata uang lama kemudian menjalar pada tingkat ekspor di Thailand yang menurun karena disebabkan oleh baht yang overvalued. Thailand kemudian dirugikan oleh penutupan 58 lembaga keuangan non-bank di Thailand karena bankrut. Lalu krisis mata uang menjalar lagi ke bursa saham, yaitu penurunan harga saham , yang diakibatkan oleh tingkat bunga tinggi sebagai reaksi kebijakan pemerintah dalam mengetatkan likuiditas.

Bukan saja hanya menyerang Thailand krisis moneter 1997, menjadi fenomena krisis moneter yang mendunia menjalar ke berbagai kawasan di Asia Pasifik seperti Kuala Lumpur, Jakarta, Manila dan bahkan Singapura. Kurs mata uang domestik terhadap dollar mengalami depresiasi hebat yang mencapai sepertiganya, yang dihitung melalui perhitungan IMF, atau dapat disebut terdepresiasi setengahnya bila dilihat dari perhitungan domestik. Di Malaysia, Mata uang dalam negeri (Ringgit) kehilangan hampir 27%  nilainya dibanding dollar Amerika Serikat.

Di wilayah Korea, tingginya aliran modal asing yang masuk, membuat ekonomi Korea Selatan menjadi sensitif terhadap fluktuasi kepercayaan investor, apalagi ditambah dengan kekhawatiran investor terhadap krisis yang terus menerus menjalar. Selain itu, pesatnya pertumbuhan perbankan menyebabkan persaingan semakin ketat sehingga mendorong meningkatnya jumlah bank kecil yang jumlah modalnya dinilai berada di bawah standar modal minimum yang telah ditetapkan, hal ini terjadi di Indonesia tahun 1994 disaat pendirian bank swasta meningkat tajam, hingga mengungguli Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Krisis moneter yang menular sangat cepat terutama di kawasan Asia Pasifik, memaksa negara-negara kawasan menjadikan International Monetary Fund (IMF) sebagai rezim moneter yang diharapkan untuk membantu keluar dari krisis[12].

Dampak terburuk dari adanya krisis adalah kegagalan pemerintah untuk membangun iklim kondusif untuk investasi. Karena hambatan tertinggi untuk mencapai investasi adalah instabilitas politik. Investasi dan pertumbuhan mengalami stagnasi, sehingga angka pengangguran dan kemiskinan meningkat tajam.

Dampak krisis Asia terhadap Amerika Serikat

Krisis financial asia secara tidak langsung membawa Amerika Serikat untuk turut campur di dalamnya. Kepentingan Amerika Serikat atas krisis financial dikarenakan beberapa alasan dasar. Namun hal yang paling mendasar adalah dampak krisis yang mempengaruhi perekonomian Amerika Serikat, diantaranya[13] :

1.      Pasar financial merupakan sebuah kesatuan yang saling berkaitan, sehingga apa yang terjadi dalam pasar financial Asia, kemudian akan mempengaruhi pasar financial Amerika Serikat.

2.      Bank dan perusahaan milik Amerika Serikat merupakan investor dan kreditor yang signifikan di dalam kawasan ASIA di mana hal ini berpengaruh pada perusahaan Amerika Serikat.

3.      Berusaha memperbaiki dan memberikan solusi terhadap kerugian yang diakibatkan oleh program restrukturisasi IMF.

4.      Kekacauan krisis financial mempengaruhi impor dan ekspor Amerika Serikat yang ditandai dengan arus modal dan nilai dari dollar Amerika Serikat.

5.      Krisis financial menunjukkan kelemahan dari banyak institusi financial di Asia.

Dalam hal ini, efek dari krisis ekonomi asia mempengaruhi perekonomian amerika baik dalam sector makroekonomi maupun sektor mikroekonomi. Sektor makroekonomi mencakup pertumbuhan suku bunga, perdagangan. Jika terjadi depresiasi pada mata uang bath, dollar singapura, Rupiah, Yen, Peso serta hambatan dalam pertumbuhan bank dapat menyebabkan kerugian pada perdagangan Amerika Serikat.

Dalam sektor mikroekonomi, krisis berdampak pada industri yang spesifik, secara khusus yang berkaitan dengan modal yang ditanamkan oleh para investor. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat, maka mayoritas para investor akan mencabut modal yang dimiliki dari negara tersebut dan hal ini akan menyebabkan perekonomian menjadi lebih lambat. Karena krisis tersebut, pertumbuhan Amerika Serikat menjadi terhambat 1,3% yaitu 3,8% pada tahun 1997 menjadi 2.5% pada tahun 1998.

Karena beberapa alasan di atas, maka Amerika Serikat mulai terlibat dalam krisis finansial Asia dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Namun seluruh usaha tersebut malah bukan memperkuat posisi Amerika Serikat dalam Asia tetapi memperlemah posisi perdagangan di dalam Asia. Negara – negara Asia merasa bahwa kebijakan dan tindakan yang diambil Amerika Serikat bersifat merugikan negara – negara tersebut. Menurunnya posisi tersebut dapat dilihat pada posisi perdagangan Amerika dengan negara – negara Asia sebelum dan sesudah krisis yang diperlihatkan pada tabel perdagangan yang ada lembar yang terpisah.*

Menurut tabel tersebut, terjadi penurunan drastis perdagangan Asia dengan Amerika Serikat. Hal tersebut dapat terlihat pada kolom presentase ekspor Amerika Serikat terhadap negara-negara Asia pada tahun 1999 yaitu 30,2  menurun menjadi 26,5 pada tahun 2001. Begitu pula penurunan impor Amerika terhadap Asia, di tahun 1990 mencapai 39,5 namun turun menjadi 36,3 di tahun 2001. Penurunan ini bukan saja terjadi di seputar Asia namun merambah ke hampir seluruh belahan dunia yang terjadi pada tahun 2000 menuju tahun 2001. Posisi menurun inilah yang memperlihatkan bahwa Amerika Serikat mengalami sedikit kemunduran dalam posisi dengan negara – negara ASEAN.

Dampak yang dialami oleh Amerika Serikat sebelum dan sesudah krisis tentu tidak lepas dari hal – hal dah kebijakan yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat. Pada bagian selanjutnya, akan diuraikan mengenai kebijakan yang diterapkan oleh Amerika Serikat berkenaan dengan krisis finansial Asia.

Kebijakan Amerika

Krisis finansial yang menerpa sebagian negara-negara Asia seperti Thailand, Indonesia, Korea Selatan, Filipina, maupun Malaysia, tak dapat dipungkiri membawa pengaruh terhadap Amerika Serikat. Hal ini terjadi mengingat bahwa Amerika Serikat memiliki hubungan dagang yang cukup besar dengan sebagian negara-negara Asia tersebut.

Pengaruh krisis finansial Asia ini pada Amerika Serikat terlihat dari melonjaknya nilai Dow Jones Industrial sebesar 554 basis point atau 7,2% akibat kekhawatiran terhadap krisis Asia, bursa New York Stock Exchange juga segera ditutup dalam waktu singkat untuk menghindari dampak perluasan krisis.[14]

Menghadapi hal ini yang secara tidak langsung berpengaruh pada pasar Amerika Serikat, maka Amerika Serikat melakukan beberapa kebijakan atas dasar beberapa alasan, yaitu :

  1. Berusaha memperbaiki permasalahan finansial ini dengan melakukan kebijakan-kebijakan yang dikepalai oleh badan moneter internasional IMF yang bekerja sama dengan World Bank dan Asian Development Bank dan akan menstabilkan nilai tukar kredit Exchange Stabilization Fund Amerika Serikat.
  2. Pasar finansial memiliki keterkaitan yang kuat, sehingga apa yang terjadi di Asia juga akan mempengaruhi pasar Amerika Serikat.
  3. Amerika merupakan investor terbesar di kawasan Asia.
  4. Lonjakan nilai mata uang berpengaruh pada faktor ekspor dan impor Amerika Serikat sehingga Amerika Serikat mengalami defisit dalam nilai perdagangannya.
  5. Krisis ini menyebabkan lonjakan ekonomi yang mengakibatkan melemahnya institusi finansial di Asia, bahkan beberapa mengalami kebangkrutan. Permasalahan ekonomi ini sangat berpengaruh kepada Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara lainnya.[15]

Karena alasan tersebut, maka Amerika Serikat melakukan berbagai tindakan untuk membantu negara Asia yang terkena dampak krisis. Salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan “Market reform in developing Asian countries” dan “US firm penetration”.2 Market reform in developing Asian countries adalah Kebijakan dimana kebijakan yang dilakukan dengan cara mengadakan perubahan yang memfasilitasi masuknya bisnis internasional ke pasar Asia dan mencangkup liberalisasi ekonomi, perdagangan dan investasi, deregulasi dan hukum perdagangan serta privatisasi dan memperbaharui peraturan tentang kebangkrutan kompetisi.

Kebijakan lainnya adalah “US firm penetration” yang berarti pemasukan dari FDI (foreign direct investment) oleh perusahaan multinasional Amerika Serikat. Foreign direct investment itu sendiri dapat diartikan sebagai investasi ketika seseorang dari sebuah negara mendapatkan keuntungan jangka panjang dan tingkat pengaruh yang lebih tinggi dari manajemen sebuah perusahaan di negara lain. Untuk dapat dikategorikan sebagai direct investment, seorang investor Amerika Serikat harus setidaknya memiliki 10% dari sebuah perusahan bisnis luar negri.

Selain kebijakan langsung, Amerika Serikat juga menerapkan kebijakan melalui IMF (international Monetary Movement) yaitu organisasi PBB yang bergerak dalam bidang keuangan. Amerika Serikat bergerak bersama IMF dengan mengambil kebijakan memberikan bantuan dana kepada negara-negara yang terkena krisis seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan. Bantuan sebesar $ 120 miliar (merupakan bantuan dana paling tinggi yang pernah diberikan)[16]

Dengan berpegang pada prinsip Washington Consensus yaitu kebijakan ekspansi dari liberalisasi perdagangan dan pasar modal, melalui kebijakan memperbesar perusahaan dan bank serta menolak kontrol atas aliran modal sebagai satu-satunya jalan menuju kemakmuran ekonomi[17], maka Amerika Serikat bersama dengan IMF melakukan upaya penanggulangan krisis yaitu pemberian bantuan dana likuiditas sebagai upaya self-help.

Liquidity is the key to financial self-help. A country that has substantial international liquidity — large foreign currency reserves and a ready source of foreign currency loans — is less likely to be the object of a currency attack. Substantial liquidity also enables a country already under a speculative siege to defend itself better and make more orderly financial adjustments. The challenge is to find ways to increase liquidity at reasonable cost.[18]

Dalam upayanya, IMF melakukan beberapa kebijakan dengan 4 arahan utama, yaitu :

  1. Memperkuat pengawasan IMF atas kebijakan negara-negara anggotanya.
  2. Membantu memperkuat kinerja pasar finansial dengan menjadi technical assistance.
  3. Secepatnya menyediakan policy advice dan financial assistance pada saat krisis muncul.
  4. Membantu untuk menjamin bahwa tidak ada negara yang termarginalisasi dari perdagangan global. Dalam pertemuan tahunan IMF pada tahun 1997 di HongKong, Board of Governors IMF menyepakati untuk mengamandemen perjanjian IMF untuk upaya liberalisasi pasar dan liberalisasi arus modal internasional sebagai tujuan dari bantuan dana ini.[19]

Lalu atas dasar arahan kebijakan ini, maka pada tanggal 31 Oktober 1997 diadakan perjanjian IMF dengan negara-negara yang terkena dampak krisis seperti Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand. IMF dalam perjanjiannya ini memiliki suatu program saran reformasi ekonomi, dengan mencakup 4 bidang yaitu :

  1. Penyehatan sektor keuangan.
  2. Kebijakan fiskal.
  3. Kebijakan moneter.
  4. Penyesuaian struktural.[20]

Dalam proses penerapan kebijakannya ini, IMF melakukan pengucuran bantuan dana kepada Indonesia dan mengalokasikan kredit sekitar US$ 11,3 milyar selama 3 hingga 5 tahun masa program. US$ 3,04 milyar dicairkan segera tanggal 15 Maret 1998 dengan syarat bahwa program rehabilitasi ekonomi telah dijalankan. Sedangkan sisa bantuan dana akan diberikan jika program yang disepakati berjalan dengan lancar. Dalam hal bantuan dana, tidak hanya Indonesia yang mendapatkannya, Korea Selatan pun mendapat bantuan dana sebesar US$ 21 milyar dan Thailand mendapat bantuan sebesar US$ 17,2 milyar.[21]

Prioritas utama dari program-program IMF ini adalah dalam hal restrukturisasi sektor perbankan. Namun di luar program bantuan tersebut, muncul banyak kritik dari adanya program bantuan dana bersyarat IMF ini, diantaranya adalah :

(1) program IMF terlalu seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan

(2) program IMF terlalu banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b). Radelet dan Sachs secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand, Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan program penyelamatan yang tepat.”[22]

Dengan melihat beberapa program bantuan yang diberikan, terlihat bahwa Amerika Serikat menjalankan kepentingannya yaitu dengan mengisyaratkan bahwa negara-negara yang terkena krisis harus meliberalisasi perekonomian. Dengan liberalisasi ekonomi, diharapkan akan membuka peluang kegiatan-kegiatan ekonomi yang diharapkan mampu untuk menarik kembali investasi-investasi dari pihak asing sehingga menghidupkan kembali perekonomian baik Amerika Serikat maupun negara yang terkena krisis.

Amerika Serikat sendiri memandang krisis moneter Asia sebagai sebuah permasalahan struktural yang disebut oleh Amerika Serikat disebabkan oleh crony capitalism yaitu kemunculan suatu sentralisasi koordinasi, dimana pemerintah memainkan peranan yang cukup dominan dalam bidang ekonomi. Negara memiliki hubungan yang dekat dengan beberapa konglomerat dan pelaku bisnis yang bercokol di negara tersebut. Seperti contoh pemerintah Indonesia sangat dekat dengan para cukong. Karena kedekatan tersebut para pelaku bisnis dapat mempengaruhi pemerintahan negara. Pola kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah yang ternyata telah ada sejak Perang Dunia II disebut mendekati pola strategi export-led economy yang menerapkan pengurangan modal di pasar pada tahun 1990[23].

Pola ekonomi tersebut tidak sesuai dengan pandangan Amerika Serikat. Amerika Serikat menginginkan suatu perekonomian yang terbuka tanpa adanya campur tangan dari pemerintah sesuai dengan konsep liberalisasi perdagangan. Amerika Serikat juga menentang adanya hambatan perdagangan, karena dengan tidak adanya hambatan perdagangan akan mempercepat perkembangan pasar internasional. Hal tersebut menguntungkan Amerika Serikat, selain membuat Amerika Serikat bertambah kaya juga menyediakan konsumen bagi barang-barang buatan Amerika Serikat[24].

Dalam rangka untuk menjaga kepentingannya di Asia khususnya di Asia Tenggara, Amerika Serikat memilki tujuan untuk membentuk kawasan yang berbentuk anglo-saxon yang bersifat liberal.[25] Disini jelas bahwa Amerika Serikat berharap dengan terbentuknya model ini maka perekonomian yang telah diliberalisasi akan berimbas kepada liberalisasi dalam lembaga-lembaga lainnya dimana tujuannya liberalisme juga masuk ke dalam pemerintahan negara-negara tersebut sehingga memudahkan Amerika Serikat untuk memperkuat pengaruh dan posisinya.

Namun meliberalisasi ekonomi bukanlah jalan keluar bagi krisis moneter yang dialami oleh negara-negara di Asia. Selain tidak sesuai, terdapat fakta bahwa negara-negara Asia belum siap untuk ikut serta dalam sistem internasional yang dipromosikan oleh Amerika Serikat ini. Dampaknya adalah bahwa negara-negara yang terkena krisis moneter semakin terpuruk.[26] Dari beberapa negara di Asia yang mengalami krisis moneter, Indonesia yang paling terkena imbas yang buruk. Indonesia belum mampu keluar dari jeratan keterpurukan dan masih sangat jauh dari kondisi stabil seperti pada masa sebelum krisis.

Kesimpulan

Krisis ekonomi asia pada tahun 1997 diawali dengan jatuhnya mata uang Bath Thailand yang dilakukan oleh para spekulan. Para spekulan membeli mata uang bath dengan harapan untuk menjatuhkan harga mata uang bath. Harapan para spekulan terjadi karena harga mata uang Bath menurun setengah dari harga semula dan mata uang Bath mengalami kejatuhan. Jatuhnya mata uang Thailand disusul dengan kejatuhan mata uang Peso, Won dan Rupiah yang berakhir dengan terjadinya krisis finansial.

Krisis finansial Asia membawa dampak yang luas bagi negara – negara di kawasan Asia. Dalam bidang ekonomi memang krisis tersebut membawa bencana yang besar bagi perekonomian negara asia, namun dalam bidang politik krisis tersebut membawa beberapa keuntungan yaitu meningkatnya sistem demokrasi dalam negara asia, meningkatkan sistem kapitalisme dalam sistem negara-negara asia serta dampak yang paling terlihat adalah muncul aktor perpolitikan baru yaitu China. China menjadi sebuah negara yang maju dalam perekonomian, membangun kesadaran dan solidaritas negara – negara Asia sebagai negara yang saling bertetangga. Selain itu, China juga turut andil dalam pembentukan regionalism dalam negara Asia Tenggara. Salah satu organisasi kawasan yang saat ini layak untuk diperhitungkan adalah ASEAN yaitu organisasi yang menjadi wadah bagi negara – negara Asia Tenggara.

Krisis finansial Asia juga memberika dampak bagi Amerika Serikat sendiri dalam sector makroekonomi dan sektor mikroekonomi. Akibat krisis tersebut, ekspor – impor Amerika Serikat terpengaruh karena sebagian besar pasar Amerika Serikat berasal dari negara – negara Asia. Karena kerugian ini, Amerika Serikat turut campur dalam mengatasi krisis yang terjadi dengan berbagai kebijakan yang diterapkan.

Kebijakan – kebijakan yang dilakukan salah satunya adalah kebijakan Market reform in developing Asian countries dan US firm penetration yang berorientasi pada liberalisasi pasar dan investasi luar negeri. Selain itu, Amerika juga melakukan kerja sama dengan IMF dengan memberikan paket stimulus bersyarat yang berlandaskan pada konsep Washington Consensus. Paket tersebut bernama Self Help yaitu bantuan yang diberikan bukan hanya menguntungkan negara yang dibantu namun juga menjadi proteksi bagi amerika sendiri. Bantuan ini juga memiliki syarat bagi negara yang menerima yaitu negara tersebut harus membuka pasar untuk liberalisasi luar negeri sehingga investor dapat masuk dan menguasai sektor domestik negara.

Dari kebijakan tersebut dapat terlihat bahwa Amerika Serikat memiliki tujuan tersendiri di balik bantuan yang diberikan yaitu untuk meliberalisasi pasar serta menciptakan wilayah Asia yang sesuai dengan pasar Amerika Serikat sendiri. Dengan terjadinya krisis finansial, keadaan tersebut dapat dijadikan kesempatan bagi Amerika Serikat untuk memperkuat posisi sekaligus juga memaksimalisasi kepentingan di dalam wilayah Asia.

Namun, sepertinya harapan Amerika Serikat untuk memperkuat posisi malah menjadi melemah karena negara – negara Asia menjadi antipati dengan kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh Amerika yang mengharuskan negara untuk membuka sistem perekonomian. Negara Asia lebih memilih untuk bekerja sama dengan China dalam perekonomian.

*tabel perdagangan Amerika Serikat :
*analisa ini dibuat bersama dengan rekan Adi Priamarizki, Yanny Livana, Noviany Gozali, Stephanie Charissa Rao dan Ronald Frenly Munthe, dalam perkuliahan Hubungan Internasional di Asia-Pasifik bersama Prof. Colin Brown.


[1] The IMF’s Response to the Asian Crisis. http://www.imf.org/external/np/exr/facts/asia.HTM. diakses 14 November 2009. Adanya juga kombinasi dari kurangnya pengawasan terhadap sektor keuangan, penilaian dan manajemen finansial yang buruk dan penetapan nilai tukar mata uang yang fix telah membawa bank-bank untuk meminjam modal internasional dalam jumlah yang besar. Sebagian besar jangka pendek dan menggunakan valuta asing. Seiirng dengan berjalannya waktu investasi tersebut cenderung digunakan untuk investasi yang tidak tepat.

[2] Lihat : Editor: Wuryandari, Ganewati. Pudjiastuti, Tri Nuke.2008. Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik.Politik Luar Negeri Indonesia Era Orde Baru. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal 158. Indonesia pada era orde baru berusaha tampil di dunia internasional dengan cara, menjadi salah satu negara pendiri ASEAN, kembali masuk PBB, menjadi penengah dalam sengketa Singapura-Malaysia, memberikan bantuan kepada negara-negara Afrika, menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1970, memberikan bantuan luar negeri kepada Laos, menjadi anggota pengawas gencatan senjata AS-Vietnam Utara pada Januari 1972, memperbaiki hubungan diplomatik dengan Uni Soviet dengan ditandai diberikannya bantuan ekonomi yang ditangguhkan setelah tahun 1965.

[3] Thailand Financial crisis, it’s causes, consequences and implications. March 2007.  http://findarticles.com/p/articles/mi_qa5437/is_1_41/ai_n29325863/pg_2/?tag=content;col1. Diakses pada tanggal 28 November 2009.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Rata – rata ekonomi China tumbuh 10,6%. Okezone.com economy. 6 Maret 2008. http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/03/06/213/89403/rata-rata-pertumbuhan-ekonomi-china-capai-10-6. diakses pada tanggal 24 November 2009.

[7] Ibid

[8] The US-China Bussiness Council. http://www.uschina.org/statistics/tradetable.html ,diakses pada 24 November 2009.

[9] John kirton. G7 and  China in a management of the international Financial System. http://www.g8.utoronto.ca/scholar/kirton199903/china4.htm. diakses pada tanggal 28 November 2009.

[10]Noer Azam Achsani. Intergrasi ekonomi ASEAN+3:Antara Peluang dan Ancaman. 21 Agustus 2008.

http://www.brighten.or.id/index.php?view=article&catid=40:noer-azam-achsani&id=64:integrasi-ekonomi-asean3-antara-peluang-dan-ancaman&tmpl=component&print=1&page=. Diakses pada tanggal 28 November 2009.

[11]Indonesia, economic, Social and political Dimentions of The Current Crisis. Refworld : UNHCR. http://www.unhcr.org/refworld/docid/3ae6a6c50.html , diakses pada Kamis 19 November 2009

[12] Kredit Macet:Politik reformasi keuangan di Indonesia. Asia Report, 15 Maret 2001. http://www.crisisgroup.org/home/index.cfm?id=1461&l=5 , diakses pada Kamis 19 November 2009

[13] Dick K. Nanto.CRS Report : The 1997-1998 Asian Financial Crisis. 6 Februari 1998.  http://www.fas.org/man/crs/crs-asia2.htm. diakses pada tanggal 28 November 2009.

[14] October 27, 1997 Mini-Crashhttp://en.wikipedia.org/wiki/October_27,_1997_mini-crash – diakses tanggal 17 November 2009

[15] CRS Report : The 1997-98 Asian Financial Crisishttp://www.fas.org/man/crs/crs-asia2.htm – diakses tanggal 17 November 2009.

Divergent U.S. Interests and the Asian Crisis: A Different Perspective on the Crisis Aftermath http://www.allacademic.com//meta/p_mla_apa_research_citation/0/7/3/2/7/pages73273/p73273-18.php. diakses pada tanggal 27 November 2009.

[16] Tom Shorrock, “Asian Financial Crisis”, Foreign Policy In Focus, Vol. 3, No. 8, April 1998, di http://www.fpif.org/briefs/vol3/v3n8fin.html, diakses pada tanggal 12 November 2009

[17] Tim Shorrock.1998.Asia Financial Crisis. Foreign Policy INFOCUS. Vol 3. No. 36 November 1998

[18] A Self-Help Guide for Emerging Markets. http://www.foreignaffairs.com/articles/54801/martin-feldstein/a-self-help-guide-for-emerging-markets – diakses tanggal 18 November 2009 pk.3:59pm

[19] CRS Report : The 1997-98 Asian Financial Crisis. Op.Cit.

[20] Laporan dan Analisa Bank Indonesia Perihal Krisis Finansial Asia 1997-98, Bagaimana Sebab, Dampak dan Peran dari IMF serta Saran Mereka dalam Kasus Ini – www.bi.go.id/NR/rdonlyres/427EA160-F9C2…/bempvol1no4mar.pdf – diakses tanggal 18 November 2009 pk.8:35pm.

[21] Ibid. Laporan dan Analisa Bank Indonesia Perihal Krisis Finansial Asia 1997-98, Bagaimana Sebab, Dampak dan Peran dari IMF serta Saran Mereka dalam Kasus Ini

[22] Ibid. Laporan dan Analisa Bank Indonesia Perihal Krisis Finansial Asia 1997-98, Bagaimana Sebab, Dampak dan Peran dari IMF serta Saran Mereka dalam Kasus Ini.

[23] Ibid

[24] Lihat Robert Art.2003.A Grand Strategy for America. New York : Cornell University Press. Hal. 64

[25] Ronald D. Palmer, “U.S. Policy Toward Southeast Asia”, American Diplomacy, 2001, di http://www.unc.edu/depts/diplomat/archives_roll/2001_10-12/palmer_seasia/palmer_seasia.html, diakses pada tanggal 12 November 2009

[26] Hardev Kaur, “AN EAST ASIAN FINANCIAL CRISIS MADE IN THE US”, Third World Network, Februari 1999, di http://www.twnside.org.sg/title/1864-cn.htm, diakses pada tanggal 12 November 2009

 

Yanny Livana                    2007330011

Noviany Gozali                  2007330046

Stephanie Charissa Rao     2007330056

Sarila Danubrata                2007330138

Ronald Frenly Munthe

Working Paper : Analisa Isu-Isu Potensial Dalam Konflik Korea

Permasalahan yang muncul di semenanjung Korea adalah permasalahan yang mendesak untuk diselesaikan, karena baik secara langsung maupun tidak langsung permasalahan tersebut akan memberikan pengaruh pada hubungan internasional di kawasan Asia terutama di kawasan Asia Timur. Konflik yang terjadi di Semenanjung Korea ini adalah bukti nyata akan adanya perang dingin di kawasan Asia. Dalam perkembangannya, permasalahan yang muncul di Semenanjung Korea akan menyebabkan munculnya berbagai isu- isu baru dan antara isu yang satu dengan yang lainnya akan saling berhubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis akan memulai membahas satu persatu mengenai isu- isu yang akan muncul.

1.      Nuclear Future.

Pengembangan nuklir adalah salah satu hasil dari konflik yang tidak kunjung selesai di Semenanjung Korea. Pada 9 Oktober 2006, Korea Utara melakukan percobaan bom nuklir untuk pertama kalinya, hal itulah yang nantinya akan menyebabkan masyarakat dunia kembali memberi perhatian pada negara ini.[1] Pengembangan Nuklir di Korea Utara ini memberikan banyak dampak terhadap hubungan negara ini dengan pihak luar. Dengan Amerika Serikat misalnya, Korea Utara melakukan persetujuan dengan mengijinkan pihak Amerika untuk melakukan inspeksi di YongByon dengan syarat diberikannya bantuan minyak. Nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara memiliki kapasitas untuk menghancurkan seluruh kota di Korea Selatan dan Jepang. Hal itu lah yang membuat para pemimpin militer untuk memikirkan ulang mengenai strategi yang akan digunakan untuk mengahadapi perang di Semenanjung Korea dan akan memberikan tempat yang lebih besar bagi negara- negara lain, seperti Jepang untuk ikut campur dalam perang saudara ini.[2]

2.      Balance of Power.

Balance of power adalah salah satu teori yang dikemukakan oleh paradigma realis, dimana teori tersebut mengemukakan bahwa adanya tindakan oleh satu negara untuk mengimbangi tindakan yang dilakukan oleh negara lain untuk melindungi negaranya dari negara lain tersebut dengan menyeimbangkan kekuatannya dengan negara tersebut, misalnya dengan meningkatkan persenjataan.[3] Di Semenanjung Korea ada 6 negara yang merasa memiliki kepentingan, Amerika Serikat, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan, China dan Rusia, masing- masing negara tersebut berusaha mencegah negara yang lain untuk mendapatkan keuntungan. Amerika Serikat di sini sangat memegang peranan penting dimana negara inilah yang nantinya akan mengatur keseimbangan power di kawasan ini. China dan Korea seringkali merasa khawatir Amerika Serikat nantinya akan mengambil kesempatan untuk menjadi sebuah kekuatan hegemony dalam kawasan Asia, serta mengijinkan Jepang untuk memainkan peranan di Asia.[4]

Pada Juni 2007, Korea Utara melakukan uji coba misil yang berjangkauan 100 km melewati Korea Selatan dan Jepang.[5] Hal tersebut akan membawa dampak yang tidak terduga pada perkembangan power di Semenanjung Korea. Jepang, seperti yang kita ketahui tidak memiliki angkatan perang. Oleh karena itu pengembangan nuklir oleh Korea Selatan dapat menjadi salah satu alasan oleh Jepang untuk membentuk suatu angkatan perang. Dan karena itu semakin jelas alasan mengapa China merasa terancam dengan adanya pengembangan nuklir di Korea Utara, karena hal itu akan mendukung berkembangnya Jepang dengan angkatan perangnya, sehingga dikhawatirkan Jepang dapat menjadi sebuah kekuatan baru yang akan menyeimbangi kekuatan China di kawasan Semenanjung Korea ini.[6]

Jepang dalam berbagai kesempatan mengemukakan bahwa apabila terjadi unifikasi antar dua Korea dan instalasi nuklir ada di negara gabungan tersebut, maka Jepang akan mulai melakukan pengembangan nuklir, yang dalam waktu singkat akan dapat diproduksi melihat kemajuan teknologi Jepang.[7] Dengan adanya “Japan go nuclear” akan ada perkembangan yang lebih lanjut, dimana akan ada perlombaan senjata dengan China, Taiwan dan Korea Selatan, sedangkan Pakistan dan India akan berusaha untuk memperbaharui teknologi nuklir mereka.[8]

3.      Foreign Aid.

Bantuan luar negeri masih berkaitan erat dengan nuklir di Korea Utara. Korea Utara seperti kita semua tahu, memiliki perekonomian yang sangat buruk dan semakin bertambah buruk dengan pengalokasian dana untuk pengembangan fasilitas nuklir. Dengan buruknya perekonomian tersebut Korea Utara memiliki ketergantungan yang besar pada negara- negara lain. Namun, ketergantungan itu seringkali digunakan sebagai kesempatan, misalnya saja Amerika Serikat yang menggunakan tekanan ekonomi untuk mengawasi perkembangan nuklir di Korea Utara. Bantuan tersebut disalurkan antara lain melalui The Federal Reserve Bank di New York, Central Bank of Rusia, dan The Far East Commercial Bank.[9] Sebagai salah satu negara yang pernah menjajah Korea, Jepang seringkali tetap memberi bantuan walaupun Korea Utara terbukti melanggar perjanjian dengan meneruskan pengembangan nuklir mereka. Jepang beranggapan bahwa dengan memberikan bantuan pada Korea Utara dapat meningkatkan pengaruhnya atas negara dan memperbaiki hubungan buruk sebagai warisan masa perang.[10] Namun, ketergantungan Korea Utara terhadap bantuan dari negara lain dapat menjadi salah satu alat untuk membuat Korea Utara sedikit lunak dan mengijinkan International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk melakukan inspeksi atas fasilitas yang dimilikinya.

4.      Economy.

Perekomian di Semenanjung Korea akan sangat berhubungan dengan Korea Utara dimana adalah negara yang paling miskin dengan perekonomian yang buruk hasil dari Perang Korea. Perekonomian inilah yang nantinya akan menjadi salah satu isu yang menjadi penentu dari keadaan di Semenanjung Korea. Korea Utara dan Korea Selatan seringkali berkonflik baik secara politik maupun militer, namun Korea Selatan masih merasa bertanggung jawab atas perekonomian Korea Utara. Pada tahun 2000, misalnya pada masa pemerintahan Presiden Kim, Korea Selatan membantu pereknomian Korea Utara dengan mengirimkan 200.000 ton pupuk yang bernilai sekitar 60 juta dolar.[11] Pada tahun tersebut kerjasama ekonomi lebih diutamakan oleh Korea Selatan, sedangkan Korea Utara lebih banyak mengalokasikan dananya untuk mengembangkan senjata nuklir. Hal tersebut yang menyebabkan Korea Utara tetap tidak mampu untuk bangkit meskipun telah mendapatkan dari berbagai pihak.

Uji coba nuklir yang dilakukan oleh pihak Korea Utara mungkin tidak memberikan dampak langsung pada perekonomian, seperti penurunan drastis pada saham, namun dapat meningkatkan harga emas dan minyak dengan banyaknya investor yang mengalihkan investasinya ke emas dan minyak, bahkan dapat menganggu laju perekonomian regional dan apabila tidak diatasi akan berdampak pada perkonomian Asia. Didukung dengan sedikitnya pengaruh dan hubungan Korea Utara dengan dunia luar yang sangat kecil, maka pengaruh nuklir Korea terhadap dunia internasional akan lebih cepat untuk berakhir.[12] Dengan adanya uji coba nuklir ini, Korea Utara seringkali dirugikan, dimana perekonomiannya semakin buruk dan mendapat embargo ekonomi dari berbagai pihak. PBB dengan Dewan Keamananannya baru- baru ini mengemukakan resolusi yang isinya mengutuk percobaan nuklir Korea Utara dan melarang eksport senjata dari Korea Utara dan mempererat embargo finansial. Lain lagi dengan Jepang, negara ini mengumumkan larangan perdagangan dengan Korea Utara. Dengan adanya embargo ini sedikit banyak akan mempengaruhi perekonomian wilayah Asia, namun karena sedikitnya keterlibatan Korea Utara pada pasar global maka akan sedikit pula pengaruh yang akan dirasakan.[13]

5. Peace and Security.

Perang Korea terjadi sejak tahun 1950-1953, namun hingga saat ini tidak ada penyelesaian yang menunjukkan secara jelas mengenai bagaimana kelangsungan hubungan antara dua wilayah tersebut. Sejak tahun 1950, krisis yang terjadi di Semenanjung Korea mengalami pasang surut, seringkali memanas. Pada saat Korea Selatan diperintah oleh Kim Dae Jung dibuat salah satu perjanjian perdamaian yang bertujuan untuk menyatukan kembali Korea Utara dan Korea Selatan, yaitu Sunshine Policy.[14] Namun, tidak ada pembicaraan lebih lanjut mengenai penyatuan kedua wilayah tersebut sehingga dapat menjadi satu kesatuan. Korea Utara memegang peranan penting dimana seringkali menyebabkan krisis di Semenanjung Korea akibat pengembangan nuklirnya. Korea Utara seringkali meningkatkan ketengangan di Semenanjung Korea dengan tidak mengindahkan ancaman dari pihak internasional untuk tidak menggembangkan nuklirnya sebagai senjata dan keluar dari Non- Proliferation Treaty (NPT). Hal tersebut menimbulkan reaksi dari pihak Jepang yang dalam hal ini akan terancam stabilitas keamanannya, dengan memberi pernyataan akan menembak apapun objek tidak dikenal yang ada di wilayahnya. Selain itu Amerika Serikat dan Korea Selatan juga bereaksi dengan mengadakan latihan militer bersama.[15]

Kemajuan yang terjadi dalam hubungan antar “major power” dapat kembali lagi dimulai dari nol akibat situasi yang terjadi di Semenanjung Korea, terutama akibat nuklir Korea Utara. Apabila terjadi Perang di Semenanjung Korea selain dapat menghancurkan negara- negara yang terlibat juga menganggu kestabilan politik internasional.[16] Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Semenanjung Korea. Pertama, meningkatkan dialog dalam kawasan, sehingga salah pengertian di antara pihak- pihak yang terlibat dapat terselesaikan. Yang kedua, walaupun banyak pihak- pihak di luar Korea yang terlibat namun, pihak- pihak tersebut tidak hanya mengutamakan kepentingannya semata tapi juga bekerja sama untuk mencapai satu tujuan utama yaitu stabilitas di wilayah Semenanjung Korea dan kemenangan bagi semua pihak.[17]

*analisa ini adalah salah satu tugas yang disusun bersama rekan lainnya dalam perkuliahan Hubungan Internasional di Asia Pasifik bersama Prof. Colin Brown.

[1] http://www.peaceforum.org.tw/filectrl/2006peaceforum_pb13.pdf diakses pada 20 September 2009 pada pukul 10:56

[2] http://www.timesonline.co.uk/tol/news/world/asia/article6155956.ece diakses pada 20 September 2009 pada pukul 11:03

[3] http://www.britannica.com/EBchecked/topic/473296/balance-of-power diakses pada 20 September 2009 pada pukul 10:58

[5] http://public.shns.com/node/37224 diakses pada 20 September 2009 pada pukul 11:18

[6] http://www.peaceforum.org.tw/filectrl/2006peaceforum_pb13.pdf diakses pada 20 September 2009 pada pukul 11:33

[7] http://www.koreatimes.co.kr/www/news/nation/2009/03/113_41431.html diakses pada 20 September 2009 pada pukul 11:46

[8] http://www.fas.org/sgp/crs/nuke/RL34487.pdf diakses pada 20 September 2009 pada pukul 11:52

[11] http://www.iie.com/publications/papers/paper.cfm?ResearchID=387 diakses pada 21 September 2009 pada pukul 12:15

[15] Ibid

[16] http://public.shns.com/node/37224 diakses pada 20 September 2009 pada pukul 11:18