Review History : Perubahan Kebijakan Politik Amerika Serikat 1948-49 dan Politik Non-Blok Indonesia

Persamaan mencolok dalam kebijakan politik Amerika Serikat terhadap Indonesia dan Vietnam selama tiga setengah tahun Kapitulasi Jepang mungkin sekali akan berlangsung lebih lama kalau tidak karena dua episode tak terduga, yang secara bersama-sama menyebabkan Amerika Serikat sama sekali mengubah sikapnya atas pertikaian Belanda-Indonesia dan cenderung akhirnya berpihak kepada Indonesia.

Episode pertama dan paling penting adalah pemberontakan Madiun, terjadi di Jawa tengah dari September hingga November 1948 dan dilakukan oleh suatu kelompok komunis Indonesia yang berorientasi pada Soviet yang menentang kepemimpinan Soekarno-Hatta, namun berhasil dipadamkan oleh Tentara Republik Indonesia setelah melakukan pertempuran sengit dan membunuh tokoh-tokohnya.[1] Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan, Belanda tidak bisa melanjutkan propagandanya bahwa Indonesia hanyalah sebuah jembatan menuju komunisme.

Indikasi paling jelas dari munculnya kebijakan politik Amerika Serikat yang baru tercermin dalam kegiatan CIA. Setelah nyata bahwa tentara Indonesia yang loyal kepada Soekarno-Hatta dapat menguasai pemberontakan komunis, CIA mengirim seorang agen senior ke Yogyakarta, ibukota Republik, dalam sebuah misi yang tidak pernah terpikirkan sebelum peristiwa itu terjadi. Ia segera mulai mewawancarai para perwira muda dari kesatuan Brigade Mobil (Brimob), memilih yang paling pandai, dan mengirim mereka ke tempat pelatihan militer Amerika Serikat melewati blokade Belanda untuk dilatih secara khusus. Kemarahan Belanda, yang angkatan udaranya tidak sanggup menghentikan eksodus itu, mudah dibayangkan.

Tampaknya, alasan bagi kebijakan rahasia tersebut adalah apabila pada akhirnya Republik menang atas Belanda, para perwira yang diatih di Amerika Serikat tidak saja akan menentang kebangkitan kembali komunis tetapi juga siapapun yang mendukung pemimpin komunis, Tan Malaka, yang telah lama melepaskan diri dari Uni Soviet dan yang pengikutnya telah bergabung dengan tentara Republik dalam menghadapi pemberontakan Madiun yang pro-Soviet. Program sosial-ekonomi kaum nasionalis komunis semakin menentang kepentingan ekonomi Barat di Indonesia dibanding dengan lawannya yang pro-Soviet yang telah ditaklukkan. Bila perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut, jumlah mereka akan semakin banyak, demikian pula taktik bumi hangus terhadap properti Amerika Serikat dan Belanda yang mereka anjurkan.

Namun, perubahan yang menentukan dalam kebijakan politik Amerika Serikat memerlukan adanya elemen kedua yang melebihi sikap para pemimpin Indonesia yang anti-komunis. Elemen ini adalah tindakan Belanda yang dianggap sebagai ancaman bagi masa depan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Karena dengan melancarkan serangan-serangan gencar terhadap Republik pada akhir 1948, Belanda telah menolak anjuran PBB untuk menghentikan operasi militer mereka atau setidaknya mengundurkan diri dari ibukota Republik dan membebaskan Soekarno-Hatta dan tokoh politik lainnya yang mereka tangkap. Bila PBB yang baru terbentuk pada saat itu dan belum teruji kemampuannya untuk memaksakan keinginannya pada sebuah negara kecil seperti Belanda, tampaknya PBB segera akan berakhir karena dianggap tidak mampu seperti halnya Liga Bangsa-Bangsa.[2]

Melalui suatu serangan tiba-tiba, 19 Desember 1948, guna menunjukkan kepada dunia suatu kenyataan yang tak dapat disangkal, Belanda melancarkan operasi militer terakhir kepada Republik yang baru sekitar 6 minggu berhasil memadamkan pemberontakan Madiun, oleh sebab itu pasukan Indonesia menghadapi pasukan Belanda dalam keadaan lemah dan tidak terorganisir. Namun, pasukan Belanda menghadapi perlawanan pasukan Indonesia yang dibantu oleh pihak sipil, yang sama sekali tidak diduga oleh Belanda, sehingga pada akhir Maret mereka harus bertahan dalam situasi perang gerilya. Setelah mengerahkan tentara berkekuatan 140.000 orang, yang menyalahi kesepakatan yang diprakarsai Perserikatan Bangsa-Bangsa kurang dari setahun sebelumnya, Belanda menyadari mereka telah membangkitkan kemarahan PBB, dimana kebanyakan pendukungnya, termasuk Amerika Serikat, beralih menentang mereka.[3] (Prancis perlu dicatat tidak mengalami hambatan seperti itu dalam melaksanakan kebijakan militernya di Vietnam, karena Prancis – berbeda dengan Belanda – anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan sebab itu memiliki hak veto yang dapat menghindarkan masalah mereka dengan Vietminh dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan).

Sekalipun komunis Indonesia yang berorientasi dengan Soviet telah ditumpas, sejumlah pejabat penting Amerika Serikat mulai mengkhawatirkan kelompok anti-Stalin, komunis nasional yang dipimpin oleh Tan Malaka, akan mengambil keuntungan dari bentrokan militer antara Belanda dan Indonesia. Para pejabat tersebut melihat para pengikut Tan Malaka dan kaum radikal sosial-ekonomi lainnya berkesempatan memperoleh lebih banyak pengikut karena keadaan yang membingungkan banyak orang Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan kemudian menyadari tujuan itu terhambat karena Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, yang memiliki kepentingan ekonomi di Indonesia, terus mendukung Belanda. Bahkan, dengan perang gerilya berkepanjangan, bisa dikatakan makin banyak orang-orang Indonesia yang berpaling kepada tokoh-tokoh radikal dan meninggalkan Soekarno-Hatta yang tetap populer, namun sudah tidak berdaya karena ditahan oleh Belanda.[4] Selain kemungkinan itu, ada pertimbangan pragmatis bahwa perlawanan secara gerilya dengan melancarkan taktik bumi hangus terhadap perkebunan-perkebunan dan properti Belanda lainnya segera akan menghancurkan sebagain besar aset ekonomi yang berusaha dipertahankan pemerintah Belanda. Maka, kepentingan pribadi pengusaha Belanda menyebabkan gagalnya usaha mereka untuk bergabung dengan kaum liberal Belanda, yang sejak lama menentang perang itu. Kepentingan pribadi pengusaha Amerika Serikat atas investasi di Indonesia menyebabkan mereka mengalami hal yang sama, dan sudah pasti hal itu berpengaruh pada kebijakan politik Amerika Serikat.

Semua faktor tersebut secara bersamaan membuat anggota Kongres Amerika Serikat dan pejabat senior, yang sebelumnya kurang memperhatikan pertikaian Belanda-Indonesia atau cenderung memihak kepada Belanda, menekan Menteri Luar Negeri Dean Acheson yang memihak Belanda, sehingga ia tidak bisa mengelak lagi. Pada musim semi 1949, kebijakan politik Amerika Serikat berubah dan mendukung kepentingan Indonesia, sehingga perlawanan Indonesia terhadap Belanda mulai mereda, dan berakhir pada akhir Desember 1949.

Politik Non-Blok Indonesia

Jangan dikira perubahan kebijakan politik Amerika Serikat pada saat-saat terakhir menimbulkan rasa terima kasih di pihak pejuang Indonesia, yang membuat mereka bersedia bersekutu dengan Amerika Serikat dalam Perang Dingin, yang ketika itu sudah berkembang. Ada berbagai sebab mengapa negara-negara berkembang tetap berkembang pada politik non-blok – sikap yang sudah tentu tidak aneh di kalangan negara bekas penjajahan. Kecurigaan terhadap Uni Sovyet yang muncul karena keyakinan (sekalipun belum ada bukti langsung) bahwa negara komunis itulah yang mendukung terjadinya pemberontakan di Madiun, sama sekali tidak menghilangkan kecurigaan terhadap Amerika Serikat, karena negara itu telah lama mendukung Belanda. Tambahan lagi, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, November dan Desember 1949, saat dimana Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada Indonesia, wakil Amerika Serikat Merle Cochran, yang bertindak sebagai moderator, memihak Belanda dengan menuntut dua hal dari Indonesia. Mengingat bahwa Amerika Serikat masih prihatin dengan keadaan ekonomi Belanda, Cochran memaksa agar Indonesia menanggung hutang Hindia-Belanda sebesar 1,13 miliar dolar Amerika Serikat, 70% dari jumlah itu adalah hutang pemerintah kolonial, yang menurut Indonesia 42% diantaranya merupakan biaya operasional militer dalam menghadapi Indonesia. Mengingat mereka telah setuju agar investasi Belanda (dan pihak asing lainnya) di Indonesia akan dilindungi, persyaratan tersebut dilihat oleh semua pihak di Indonesia sangat tidak adil.[5] Jaminan pribadi yang diberikan Cochran kepada Indonesia bahwa mereka akan mendapat bantuan yang cukup besar dari Amerika Serikat untuk melunasi beban hutang tersebut terbukti kosong belaka ketika ternyata yang diberikan hanya 100 juta dolar saja dalam bentuk kredit ekspor-impor yang harus dibayarkan kembali.

Namun, dalam pengertian politik, konsesi yang paling penting dipaksakan Cochran adalah setengah bagian New Guinea (Irian Barat), yang secara geografis merupakan bagian penting Hindia-Belanda yang tidak diserahkan kepada Indonesia karena akan dibicarakan kemudian oleh Indonesia dan Belanda dalam waktu satu tahun. Penangguhan sementara atas wilayah jajahan itu dianggap – mungkin sekali benar – penting untuk menyenangkan kaum pejuang chauvinis Belanda yang dukungannya sangat diperlukan bagi disetujuinya perjanjian tersebut dalam parlemen Belanda.

Maka, ketika akhir Desember 1949 negara Indonesia yang berdaulat penuh tampil dalam arena internasional masih bersikap ramah kepada Amerika Serikat, dukungan pemerintah Truman di Washington atas pendirian Cochran dalam masalah hutang dan Irian Barat tampaknya makin menyadarkan Indonesia untuk tidak berpihak kepada kekuatan politik manapun.

*********

Duta besar pertama Amerika Serikat untuk Indonesia adalah Merle Cochran. Dikelilingi pendukung McCarthy di Washington pada awal 1950-an, ia yakin bisa memajukan karirnya apabila mampu membujuk Indonesia untuk melepaskan politik non-blok dan bergabung dengan Amerika Serikat.[6] Dengan mengabaikan nasihat para pakar di Departemen Luar Negeri, ia mencoba melakukan suatu tindakan kurang bijaksana pada Januari 1952 untuk memaksan kabinet Indonesia menandatangani perjanjian bantuan ekonomi dari Amerika Serikat, berbohong dengan mengatakan bahwa Kongres mensyaratkan adanya persekutuan politik luar negeri Indonesia dengan Amerika Serikat. Tanpa menyadari bahwa Cochran telah diberi instruksi bahwa konsesi semacam itu tidak diperlukan, pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani perjanjian itu sesuai dengan persyaratan yang diajukan oleh Duta Besar. Ketika media massa Indonesia mengetahui negara-negara non-blok lain, seperti Burma dan India, telah mendapat bantuan dari Kongres tanpa persyaratan politik luar negeri apapun, meledaklah kemarahan di seluruh spektrum politik Indonesia. Cochran telah mendapat teguran keras dari ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat karena telah melakukan tindakan yang tidak diperintahkan, dan ia tidak pernah lagi mendapat tugas untuk melaksanakan kebijakan luar negeri. Namun hubungan Amerika Serikat dan Indonesia saat itu sudah terlanjur hancur.

Kabinet Indonesia yang paling memihak Amerika Serikat muncul setelah kemerdekaan runtuh akibat protes keras masyarakat terhadap pelanggaran atas politik non-blok dan persepsi bahwa Duta Besar Amerika Serikat telah memanipulasi politik luar negeri Indonesia. Seperti dikatakan oleh Robert J.McMahon, “Insiden itu menjadi peringatan keras bagi Kabinet Indonesia selanjutnya atas resiko yang harus dihadapi jika terlalu dekat dengan Washington.”[7]

Namun, sebab yang lebih penting dari penghentian bantuan ekonomi tersebut adalah semakin marahnya para pemimpin Indonesia atas apa yang mereka lihat sebagai kolusi antara Amerika Serikat dan Belanda yang terus berlanjut dalam upaya mencegah masalah Irian Barat masuk dalam agenda PBB, dan dengan demikian mencegah mereka mendapatkan apa yang mereka anggap sebagai hak yang sah. Bahkan, orang Indonesia yang paling memihak Amerika Serikat sekali pun merasa kecewa dengan Amerika Serikat karena mereka tidak mengizinkan masalah Irian Barat dibicarakan dalam PBB, dan mereka menyadari bahwa terutama pengaruh Amerika Serikat lah – bukan Belanda – yang tidak memungkinkan tercapainya suara mayoritas agar masalah itu dimasukkan dalam agenda PBB.[8]

Para pejabat Amerika Serikat yang paling gigih menginginkan Irian Barat tetap dikuasai Belanda mengakui bahwa wilayah pemerintahan yang sedemikian besar dan terbelakang secara ekonomi itu akan menjadi beban bagi Belanda, tetapi mereka berpendapat bahwa nasionalisme Belanda akan meledak jika bendera negara itu tidak tetap berkibar di wilayah jajahan mereka yang masih tersisa itu. Mereka berpendapat jika Amerika Serikat mendukung perdebatan mengenai Irian Barat dalam PBB, maka resiko yang harus ditanggung adalah hancurnya loyalitas suatu komponen penting dalam NATO. Mengapa harus mengambil resiko demi kepentingan suatu negara yang menolak bersekutu dengan pihak Amerika Serikat ?

Kekuasaan Belanda atas Irian Barat kemudian menghambat hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan Belanda hingga tahun 1962, ketika masalah itu diselesaikan melalui PBB atas inisiatif Presiden John F.Kennedy. Tetapi, hingga saat itu upaya Indonesia di PBB selalu dihambat Belanda – dengan dukungan kuat dari Australia – yang terus menikmati dukungan rahasia Amerika Serikat, yang secara resmi bersikap netral terhadap masalah itu. Keadaan itu saja sudah cukup bagi Indonesia untuk tetap mempertahankan politik non-blok.

 

Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia (1995)


[1] Keterangan paling lengkap mengenai Pemberontakan Madiun dan latar belakangnya lihat Ann Swift, The Road To Madiun (Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project, 1989).

[2] Keterangan lengkap mengenai kebijakan Amerika Serikat atas perselisihan Indonesia-Belanda terdapat dalam McMahon, Colonialism and Cold War.

[3] Keterangan yang sangat lengkap mengenai peranan PBB dalam pertikaian Indonesia-Belanda terdapat dalam Alastair M.Taylor, Indonesian Independence and United Nations (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1960). Evaluasi yang cukup baik mengenai pentingnya faktor PBB dapat dibaca dalam Evelyn Colbert, The Road Not Taken: Decolonialization and Independence in Indonesia and Indochina, Foreign Affairs, April 1973, hlm.608-628.

[4] Pandangan ini jelas tampak dalam pembicaraan dengan pejabat-pejabat menengah Amerika Serikat di Jakarta dan Washington pada Maret-Juni 1949. Biro Intelijen Angkatan Laut Amerika Serikat adalah badan yang paling tertarik dengan masalah ini sejak akhir Januari memperingatkan “Aksi Polisional dan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan Belanda untuk menghancurkan kegiatan gerilya pasukan RI akan berakibat melemahnya pengaruh pemimpin Indonesia yang moderat dan memperkuat posisi ekstrimis dan komunis. Para pemimpin Indonesia yang moderat saat itu ditahan Belanda adalah para pemimpin lokal yang paling cakap dan berorientasi ke Amerika Serikat. Terus berlanjutnya kekacauan ekonomi dan sosial akan menguntungkan komunis karena menyediakan kesempatan yang baik bagi perkembangan dan meluasnya komunisme di wilayah yang memang sudah kacau. Karena para pemimpin yang moderat tidak berhasil mencapai persetujuan dengan Belanda melalui cara-cara damai, makin kerasnya tindakan-tindakan kaum ekstrimis dan komunis mungkin akan memperkuat pendapat mereka sebelumnya yakin tidak ada gunanya berunding dengan Belanda”, CIA, Consequences of Dutch “Police Action” in Indonesia, 27 Januari 1949, ORE 40-49, hlm.5. (Dokumen ini dibuka untuk umum dan disiarkan oleh CIA, 21 Juli 1992). Sekalipun Tan Malaka dibunuh oleh pasukan Indonesia, ada desas-desus yang berkembang selama beberapa bulan yang menyatakan bahwa ia masih hidup dan aktif memimpin perjuangan melawan Belanda.

[5] Keterangan lebih lanjut, lihat McMahon, Colonialism and Cold War, hlm.300-301, dan Kahin, Nationalism and Revolution, hlm.442-444 dan Taylor, Indonesian Independence and the United Nations, hlm.239-249, 438.

[6] Ini merupakan penilaian para ahili mengenai Indonesia di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang berbicara dengan salah satu penulis saat itu.

[7] McMahon, Colonialism and Cold War, hlm.321.

[8] Kecaman atas pemihakan Amerika Serikat kepada Belanda dilontarkan kepada penulis oleh Wakil Presiden Hatta, para pemimpin Masjumi, PNI, dan partai-partai sosialis serta Presiden Soekarno dalam pembicaraan dengan mereka selama 1954-56 (George McT.Kahin)

Review : Destroying Nuclear, Biological and Chemical Weapons

Nuclear, biological and chemical weapons are rightly called weapons of mass destruction (WMD). Designed to terrify as well as destroy, they have the potential to kill thousands and thousands of people in a single attack, and their effects may persist in the environment and in our bodies, in some cases indefinitely.
Many efforts have been made to free the world from the threat of these weapons and some progress has been made. Paradoxically, despite the end of the Cold War, the past decade has seen more setbacks than successes. States have failed to comply with their disarmament and non-proliferation commitments, and terrorist groups have emerged that recognize no restraints.
In September 2005, the United Nations World Summit was unable to agree on a single recommendation on disarmament and non-proliferation. It is time for all to wake up to the awesome reality that many of the old threats continue to hang over the world and that many new ones have emerged.
It is time for all governments to revive their cooperation and to breathe new life into the disarmament work of the United Nations. Efforts to eradicate poverty and to protect the global environment must be matched by a dismantling
of the world’s most destructive capabilities. The gearshift now needs to be moved from reverse to drive.
Biological and chemical weapons have been comprehensively outlawed through global conventions, but these need to be universally accepted and fully implemented. Nuclear weapons must also be outlawed. Before this aim is realized, there must be new initiatives to reduce the number of nuclear weapons and the threat posed by them. It is equally urgent to prevent proliferation and to take special measures to ensure that terrorists do not acquire any weapons of mass destruction.

WHY ACTION IS NECESSARY
Nuclear, biological and chemical arms are the most inhumane of all weapons. Designed to terrify as well as destroy, they can, in the hands of either states or non-state actors, cause destruction on a vastly greater scale than any conventional weapons, and their impact is far more indiscriminate and long-lasting.
So long as any state has such weapons – especially nuclear arms – others will want them. So long as any such weapons remain in any state’s arsenal, there is a high risk that they will one day be used, by design or accident. Any such use would be catastrophic.
Notwithstanding the end of the Cold War balance of terror, stocks of such weapons remain extraordinarily and alarmingly high: some 27,000 in the case of nuclear weapons, of which around 12,000 are still actively deployed.
Weapons of mass destruction cannot be uninvented. But they can be outlawed, as biological and chemical weapons already have been, and their use made unthinkable. Compliance, verification and enforcement rules can, with the requisite will, be effectively applied. And with that will, even the eventual elimination of nuclear weapons is not beyond the world’s reach.
Over the past decade, there has been a serious, and dangerous, loss of momentum and direction in disarmament and non-proliferation efforts. Treaty making and implementation have stalled and, as a new wave of proliferation has threatened, unilateral enforcement action has been increasingly advocated.
In 2005 there were two loud wake-up calls in the failure of the NPT Review Conference and in the inability of the World Summit to agree on a single line about any WMD issue. It is critical for those calls to be heeded now.

WHAT MUST BE DONE
The Weapons of Mass Destruction Commission makes many specific and detailed recommendations throughout its report. The most important of them are summarized below.

1. Agree on general principles of action.
Disarmament and non-proliferation are best pursued through a cooperative rule-based international order, applied and enforced through effective multilateral institutions, with the UN Security Council as the ultimate global authority.
There is an urgent need to revive meaningful negotiations, through all available intergovernmental mechanisms, on the three main objectives of reducing the danger of present arsenals, preventing proliferation, and outlawing all weapons of mass destruction once and for all.
States, individually and collectively, should consistently pursue policies designed to ensure that no state feels a need to acquire weapons of mass destruction. Governments and relevant intergovernmental organizations and non-government actors should commence preparations for a World Summit on disarmament, non-proliferation and terrorist use of weapons of mass destruction to generate new momentum for concerted international action.

2. Reduce the danger of present arsenals : no use by states – no access by terrorists.
Secure all weapons of mass destruction and all WMD-related material and equipment from theft or other acquisition by terrorists. Take nuclear weapons off high-alert status to reduce the risk of launching by error; make deep reductions in strategic nuclear weapons; place all non-strategic nuclear weapons in centralized storage; and withdraw all such weapons from foreign soil.
Prohibit the production of fissile material for nuclear weapons, and phase out the production of highly enriched uranium.
Diminish the role of nuclear weapons by making no-first-use pledges, by giving assurances not to use them against non-nuclear-weapon states, and by not developing nuclear weapons for new tasks.

3. Prevent proliferation: no new weapon systems – no new possessors.
Prohibit any nuclear-weapon tests by bringing the Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty into force.
Revive the fundamental commitments of all NPT parties: the five nuclear-weapon states to negotiate towards nuclear disarmament and the non-nuclear-weapon states to refrain from developing nuclear weapons.
Recognize that countries that are not party to the NPT also have a duty to participate in the disarmament process.
Continue negotiations with Iran and North Korea to achieve their effective and verified rejection of the nuclear-weapon option, while assuring their security and acknowledging the right of all NPT parties to peaceful uses of nuclear energy.
Explore international arrangements for an assurance of supply of enriched uranium fuel, and for the disposal of spent fuel, to reduce incentives for national facilities and to diminish proliferation risks.

4. Work towards outlawing all weapons of mass destruction once and for all
Accept the principle that nuclear weapons should be outlawed, as are biological and chemical weapons, and explore the political, legal, technical and procedural options for achieving this within a reasonable time.
Complete the implementation of existing regional nuclear-weaponfree zones and work actively to establish zones free of WMD in other regions, particularly and most urgently in the Middle East. Achieve universal compliance with, and effective implementation of, the Chemical Weapons Convention, and speed up the destruction of chemical weapon stocks.
Achieve universal compliance with, and effective implementation of, the Biological and Toxin Weapons Convention, and improve cooperation between industry, scientists and governments to reinforce the ban on the development and production of biological weapons and to keep abreast of developments in biotechnology.
Prevent an arms race in space by prohibiting any stationing or use of weapons in outer space.

source : Weapons of Terror – Freeing The World Of Nuclear, Biological and Chemical Arms (The Weapon of Mass Destruction Commission) 2006

Review History : Politik Luar Negeri Subversi – Eisenhower dan Indonesia

Subversi, sebagaimana dikupas dalam kajian yang kritis dan komprehensif ini, oleh Amerika Serikat telah dijadikan instumen penting dalam politik luar negeri nya. Lewat investigasu yang cermat, pasangan sejarawan George Mc.Turnan dan Audrey R.Kahin menjabarkan keterlibatan pemerintahan Eisenhower-Dulles via CIA dalam peristiwa PRRI-Permesta, satu topik yang selama ini hanya diketahui samar-samar. Keterlibatan itu sendiri sesungguhnya mulai tersingkap ketika Allen L.Pope,seorang pilot Amerika, ditembak jatuh saat melakukan pengeboman di atas kota Ambon. Namun, pemerintah Amerika Serikat waktu itu secara resmi menyebut Pope sebagai tentara bayaran yang disewa oleh pembangkang.

Menjelang 40 tahun kemudian, berkat keuletan pasangan suami-istri Kahin, terbukti bahwa demi membendung pengaruh komunisme di Indonesia – tentu sukar dibantah karena ketika itu pengaruh Soviet sudah semakin kuat di sini – Amerika Serikat telah melakukan campur tangan langsung dalam “perang saudara” yang hingga sekarang masih menampakkan jejaknya dalam perkembangan politik Indonesia. Menyusul kekalahan PRRI-Permesta, kekuasaan pun kian memusat ke tangan Presiden Soekarno dengan dukungan dua pilar lain yang saling bersaing, ABRI dan PKI. Pemberontakan G-30-S/PKI kemudian mengakhiri komposisi tiga pilar itu dan mengantar kita ke alam Orde Baru dengan 2 pilar yang tersisa, yaitu ABRI dan Presiden.

Memecah-belah Indonesia ?

Setelah pertemuan Dewan Keamanan Nasional pada 14 Maret, tampak jelas muncul pendapat dalam pemerintahan yang melihat adanya proses disintegrasi di Indonesia dan sebab itu mendesak dirumuskannya kebijakan untuk memanfaatkan keadaan terpecah-belah yang memang diharapkan. Pandangan ini tampaknya paling jelas terdapat di kalangan CIA, mendapat dukungan yang memadai, sehingga pada awal Mei, Asisten Menteri Luar Negeri Walter Robertson mengirim seorang wakil direktur dari Biro Pasifik Barat Daya, Gordon Mein, seorang ahli masalah Indonesia yang telah berpengalaman, ke Jakarta guna menentukan “kemungkinan pemecahbelahan Indonesia“. Laporan Mein pada 17 Mei sangat padat, jelas dan juga sejalan dengan pemikiran Duta Besar Allisaon dan staf nya yang menurut Allison erat bekerja sama dengan Mein.[1] Laporan itu cukup meyakinkan Departemen Luar Negeri untuk menghambat perkembangan pengaruh pihak-pihak “pemecah-belah” sekurangnya setelah hasil pemilu tingkat propinsi di Jawa diumumkan.

Mein menolak pemikiran bahwa Indonesia sedang menuju disintegrasi dengan mengatakan sebagian besar rakyat Indonesia tetap menginginkan negara kesatuan. Tuntutan para kolonel yang memberontak pada awalnya hanyalah pembubaran Kabinet Ali Sastroamidojo dan saat itu mereka menuntut pemulihan kembali dwitunggal Soekarno-Hatta, bukan pengakuan kemerdekaan daerah-daerah. Ia menyimpulkan bahwa “pada akhirnya, tampaknya perpecahan Republik Indonesia tidak akan menguntungkan kebijakan Amerika Serikat di wilayah itu” dan bahwa “kekacauan politik dan ekonomi yang diakibatkannya mungkin, dalam jangka panjang, akan lebih banyak menguntungkan PKI dalam upaya merebut kekuasaan di kepulauan itu.”

Mutu yang sangat baik dari analisa Mein tersebut bisa membantu memahami faktor-faktor politik di Indonesia yang ada dalam skenario pemecahbelahan yang kemudian beredar di berbagai kalangan dalam pemerintahan. Pertama-tama, dalam meomrandum itu ia mencatat :

Alasan yang dapat diajukan guna mendukung pendapat bahwa Amerika Serikat seharusnya memandang dengan rasa puas, bila tidak mendorong, pemisahan Sumatra dan pulau-pulau besar lainnya di luar Jawa dari Republik Indonesia, dapat diringkaskan sebagai berikut :

1.       Kekuasaan komunis dipusatkan di Jawa, sebaliknya di pulau-pulau luar Jawa partai-partai agama yang sangat anti-komunis berkuasa.

2.       Pemerintah pusat melaksanakan politik netralis dan tampaknya dipengaruhi golongan kiri. Adanya pemerintah yang anti-komunis di sekitarnya bisa menjadi lawan yang berguna.

3.       Karena obsesinya pada kolonialisme, dan rasa curiganya pada bekas kekuasaan kolonial barat, Presiden Soekarno, yang tampaknya juga tidak terlalu mengkhawatirkan bahaya komunis dari dalam maupun dari luar, menjadi seorang tokoh politik dengan pengaruh yang tidak bisa diandalkan. Mengurangi wilayah yang dikuasainya bisa sangat berguna.

4.       Sumatra, bersama Semenanjung Malaya, menguasai Selat Malaka, yang sangat penting dari segi strategis.

Kemudian beralih pada faktor-faktor politik, ia berhasil membantah sebagian besar alasan yang secara sadar atau tidak dibuat oleh kaum intervensionis tersebut :

Yang pertama dan paling penting adalah keraguan mengenai kemungkinan Sumatra menjadi satu kesatuan politik, yang dalam kenyataannya terdiri atas berbagai komunitas yang terpencar-pencar dalam hutan belantara. Di pulau itu terdapat sekurangnya 5 suku bangsa besar dan kelompok kebudayaan yang berbeda-beda dan saling bermusuhan, yang hanya dihubungkan oleh satu jalan aspal yang sulit dilalui pada musim hujan. Pusat perekonomian utama, Medan dan Palembang, keduanya sangat erat terkait dengan Jakarta, tetapi hanya sedikit memiliki ikatan yang sama. Salah satu daerah, Aceh, selama sekitar 4 tahun terakhir melakukan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah pusat dan sekalipun dilaporkan telah tercipta kesepakatan sementara dengan Letnan Kolonel Husein sebagai panglima di Sumatra Tengah, namun kecil kemungkinannya orang-orang muslim Aceh yang fanatik akan mau berdamai dengan orang-orang Batak yang Kristen dan menerima kekuasaan yang mengikat seluruh daerah itu. Sebab itu, kalau pada awalnya semboyan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” dihilangkan dan proses disintegrasi mulai terjadi, sedangkan fragmentasi politik hampir pasti akan berlangsung terus di Sumatra, sehingga Amerika Serikat tidak hanya akan berhadapan dengan satu pemerintahan Sumatra, tetapi dengan tiga atau empat daerah yang semi-otonom. Let.Kol Husein, perwira paling gigih di wilayah itu, dilaporkan sangat banyak dipengaruhi kalangan Islam Ortodoks Sumara Barat, yang menurutnya telah mengajukan prasyarat bagi penyelesaian dengan pemerintah pusat tidak hanya pembubaran PKI tetapi juga partai-partai jutaan orang lain yang menganut keyakinan pada Tuhan dan menganjurkan pemisahan politik dan agama. Dalam hal ini, Husein lebih dekat dengan Darul Islam daripada dengan Masjumi atau Nahdatul Ulama. Ia belum menyatakan bagaimana ia menghendaki kepercayaan kepada Tuhan itu dilaksanakan, tetapi wawasan Islam mengenai hal itu tampaknya tidak disenangi kawan-kawannya yang Kristen. Betapapun juga, tuntutanyang memperkuat kedudukannya di kalangan wilayah Islam di sekitar Padang sangat ekstrim dan tidak realistis dalam konteks politik Indonesia yang lebih luas dan dengan demikian menjadikan Husein sebagai pemimpin suatu wilayah yang terbatas.

Dalam kesimpulannya, Mein menyatakan memecah-belah Republik Indonesia “hanya dapat brhasil dengan bantuan material yang besar dari Amerika Serikat dan

Kepentingan Amerika Serikat dapat dicapai secara lebih efektif melalui peningkatan kekuatan anti-komunis di pulau-pulau luar Jawa yang sedang melakukan pemberontakan dengan mendorong elemen-elemen anti-komunis di sana untuk mendukung kawan-kawan dan sesama regionalis di Jawa dalam kerangka satu negara nasional dan dengan cara mendukung dan membantu pemerintah pusat memenuhi tuntutan-tuntutan yang sah dari daerah-daerah.

Sekalipun duta besar Allison menganggap penting para pemberontak di daerah-daerah untuk tidak dihancurkan, ia berharap tercapai kompromi yang baik diantara mereka dan kabinet non-partai yang dipimpin Djuanda Kartawidjaja, yang diangkat Soekarno segera setelah Kabinet Sastroamidjojo jatuh pada 17 Maret.[2] Duta besar melapor pada 1 Juni, kabinet yang baru “lebih realistis dan konstruktif daripada sebelumnya” dan menyarankan “kesabaran dan pengertian” dalam menghadapi masalah dan agar Amerika Serikat tidak melakukan tindakan yang menunjukkan ketidakpercayaan atas kemampuan pemerintah pusat dalam menyelesaikan masalah-masalahnya.[3]

Tetapi, meningkatnya kekuatan PKI seperti terbukti dalam pemilu propinsi di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada Juli-Agustus 1967 membuat Amerika Serikat mengabaikan penilaian Allison. Bahkan, Menteri Luar Negeri Dulles pada 25 Juli memerintahkan agar Penilaian Intelijen Nasional (NIE) atas Indonesia diubah seluruhnya akibat pemilu dan menganjurkan agar Dewan Keamanan Nasional, yang dipimpin Presiden Eisenhower, bersidang pada 1 Agustus untuk membicarakan kebijakan mengenai Indonesia.

Pembicaraan dalam sidang Dewan Keamanan Nasional membuktikan bahwa kecemasan telah meningkat.[4] “Cutler (Pembantu khusus presiden) bertanya apakah sesuai dengan briefing Direktur CIA mengenai Indonesia (isi briefing itu dihapus dari catatan) kepada Kepala Staf Gabungan perlu diminta untuk mempelajari akibat-akibat militer mengenai jatuhnya Pulau Jawa ke tangan komunis. Presiden berkata ia ingin juga mengetahui pandangan Departemen Luar Negeri”. Wakil Menteri Luar Negeri Christian Herter ingin mengetahui

Akibat yang mungkin terjadi bila Jawa dipisahkan dari Sumatra. Perkiraan seperti itu akan sangat berguna, yang memungkinkan kami menentukan seberapa jauh harus bertindak kepada Indonesia di masa mendatang. Cutler mengatakan Indonesia mungkin saja terpecah belah, dengan Pulau Jawa sebagai kekuatan komunis dan pulau-pulau lain sebagai kekuatan anti-komunis. Wakil Presiden (Richard Nixon) menganggap Soekarno mungkin benar ketika ia mengatakan pemerintahan demokratis bukan yang terbaik untuk Indonesia. Ia mengatakan bahwa kaum komunis mungkin tidak bisa dikalahkan dalam pemilu karena organisasi mereka sangat baik dan mereka sanggup memanfaatkan kebodohan rakyat. Dalam pandangannya, Amerika Serikat sebaiknya bertindak melalui organisasi militer Indonesia untuk memobilisasi perlawanan terhadap komunisme. Laksamana Radford (Kepala Staf Gabungan) sepakat mengenai adanya kemungkinan untuk bekerja sama dengan baik dengan tentara Indonesia. (dihapus) Presiden menanyakan kekuatan militer yang dikendalikan Soekarno. Dulles menjawab bahwa ia mengendalikan kekuatan militer di Pulau Jawa.

Laksamana Radford menyarankan agar Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan segera mengadakan survei mengenai keadaan di Indonesia agar bisa siap-siap bila harus melakukan tindakan yang cepat.

Dewan Keamanan Nasional kemudian menyetujui pembentukan panitia yang terdiri atas perwakilan Departemen Luar Negeri (sebagai ketua), Departemen Pertahanan, Kepala Staf Gabungan, CIA dan Badan Kerja Sama Internasional untuk menyiapkan sebuah laporan bagi Dewan pada 4 September mengenai :

a.       Dampak dari perkembangan mutakhir di Indonesia, terutama kemenangan-kemenangan politik PKI di Jawa, bagi keamanan Amerika Serikat.

b.      Tindakan yang dapat diambil Amerika Serikat mengenai keadaan di Indonesia sejalan dengan keputusan Dewan Keamanan No.5518 (kemungkinan besar memorandum dewan atas  kebijakan Amerika Serikat mengenai Indonesia), termasuk tindakan yang dapat diambil mengenai kemungkinan atau tindakan nyata PKI untuk merebut kekuasaan di Jawa.

Keputusan penting yang menyatakan bahwa “karena reaksi yang timbul di PBB, SEATO dan di Asia pada umumnya bersifat bertentangan mengenai pengerahan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat di Indonesia, tidak mungkin dan tidak tepat dilaksanakan sementara keadaan politik di Indonesia tidak stabil”. Sebab itu, pengerahan tentara Amerika Serikat untuk sementara ditangguhkan. Saran-saran mengenai tindakan apa yang harus dilakukan – terbuka maupun rahasia – akan ditentukan oleh Komisi Ad Hoc antar-departemen dengan wakil-wakil dari Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan CIA, dengan pimpinan Hugh S. Cumming yang saat itu menjadi penasihat Dulles yang paling berpengaruh dalam Departemen Luar Negeri mengenai Indonesia.[5] Kelompok kerja inti Komisi Ad Hoc, termasuk Laksamana Arleigh Burke, Kepala Operasi Angkatan Laut, dan Howard Jones, Deputi Asisten Menteri Luar Negeri untuk urusan Timur Jauh. Deputi Asisten Menteri Pertahanan, Karl G.Herr, Jr. ditunjuk untuk mewakili Departemen Pertahanan dan Kolonel Joseph Harrison mewakili Kelompok Perencanaan Strategis Gabungan Kepala Staf Gabungan. Komisi dan tugasnya sedemikian rahasia, sehingga pejabat bagian urusan Indonesia di Departemen Luar Negeri, Francis Underhill, baru mengetahuinya beberapa tahun kemudian dan ia sama sekali tidak diberi tahu mengenai hal-hal yang menyangkut kegiatan rahasia. “Semua gadis bar di Singapura dan Manila tahu lebih banyak mengenai operasi-operasi itu daripada pejabat bagian urusan Indonesia,” katanya di kemudian hari. Ia menyadari kegiatan itu untuk pertama kali nya secara kebetulan ketika dalam sebuah undangan makan malam pada musim semi 1958 seorang perwira bagian operasi Angkatan Laut mengajaknya berbincang-bincang secara pribadi dan mengatakan, “Francis, apa yang kalian, di Departemen Luar Negeri, hendak lakukan di Indonesia? Kapal-kapal selam kita telah merapat di pantai Sumatra dekat Padang selama 2 minggu dan menurunkan amunisi berton-ton.”[6]

Selama akhir 1957, di kalangan pemerintahan Eisenhower muncul keyakinan yang makin meningkat bahwa pengambilalihan kekuasaan oleh PKI di Jawa memang “bisa terjadi sewaktu-waktu”. Suatu ilustrasi mengenai pandangan itu didapat dari telegram yang dikirim Asisten Menteri Luar Negeri Robertson kepada Allison sehari setelah Dewan Keamanan Nasional mengadakan rapat pada 1 Agustus. Sekalipun sebagian dari isinya disensor, nadanya menunjukkan adanya peningkatan kekhawatiran yang mulai mencuat di kalangan atas kabinet :

Departemen pada tingkat tinggi telah menaruh perhatian selama beberapa bulan mengenai apa yang kami lihat sebagai keadaan yang terus menerus kacau di Indonesia.. dan mungkin melalui tindakan kami yang tidak tepat kaum komunis dapat melakukan peranan yang menentukan dalam kegiatan politik negeri itu. Tampak jelas bahwa akibat tindakan Soekarno (sengaja atau tidak) PKI menjadi kuat. Kami juga merasa Djuanda tidak memiliki kekuatan dan dukungan politik untuk menahan mencuatnya apa yang dari sini tampak sebagai peningkatan kekuatan kaum komunis atau untuk mencegah berkuasanya Dewan Nasional atas kabinet infiltrasi kaum komunis dalam pemerintahan dan rakyat Indonesia memiliki banyak persamaan buruk dengan apa yang terjadi di Guatemala pada masa Arbenz.[7]

(Perlu diingat bahwa Arbenz, presiden terpilih saat itu, yang cenderung ke kiri mengakibatkan tindakan keras CIA yang menumbangkannya.)

Epilog

Upaya pemerintahan Eisenhower untuj memanipulasi politik di Indonesia sama sekali tidak berhasil. Usaha mengubah sifat pemerintah Indonesia agar sesuai dengan apa yang dianggap sebagai kepentingan Amerika Serikat malah memperkuat unsur-unsur yang hendak dilemahkan dan dihancurkan.

Dampak perang saudara yang langsung tampak dan bertahan lama adalah kuatnya Angkatan Darat dan Presiden serta hancurnya pemerintahan parlementer. Sejak itu, Indonesia tidak lagi mempunyai pemerintahan dengan sistem perwakilan, sedangkan Angkatan Darat dan Presiden terus mendominasi kehidupan politik dan ekonomi.

Dengan demikian, mungkin dampak yang paling berbahaya dari intervensi Amerika Serikat dalam panggung politik Indonesia adalah polarisasi yang goyah. Perang saudara tidak saja mencoreng wajah politik Indonesia, tetapi juga menyebabkan seluruh keseimbangan kekuatan politik dalam negeri menjadi sangat kacau. Ketika muncul spektrum politik yang berkurang sekali sifat keanekaragamannya dibanding masa-masa sebelumnya, muncul tripolarisasi yang renggang dan rapuh di Indonesia yang terdiri dari tiga kekuatan politik yang masing-masing semakin kuat, yaitu Angkatan Darat, Soekarno dan PKI. Keadaan itu tidak memungkinkan berlangsungnya pemerintahan yang efektif ataupun sistem politik yang stabil. Tentu saja keadaan itu menjadi suatu faktor yang menyebabkan terjadinya ledakan politik yang sangat dahsyat.


[1] Memorandum resmi dari john Gordon Mein kepada Robertson, “The possible break-up of the Republic of Indonesia”, tertanggal 17 Mei 1957 (756D.00/5-1757, Arsip Nasional). Sebuah versi yang agak berbeda dari memorandum itu terdapat dalam FRUS, jilid 22, hlm 381-385; wawancara dengan Duta Besar Allison.

[2] Lihat surat Allison kepada Robertson, 8 April 1957, FRUS, jilid 22, hlm 372.

[3] Lihat surat Allison 1 Juni 1957, Ibid, hlm 392.

[4] Lihat Ibid, hlm 400-402.

[5] NSC Action No.1758, 1 Agustus 1957.

[6] Surat dari Francis Underhill yang ketika itu bekerja sebagai pejabat Biro Indonesia, 3 Desember 1993, dan pembicaraan melalui telepon, 18 September 1994.

[7] Lihat FRUS, jilid 22, hlm 402-403. Dewan Nasional yang didirikan oleh Soekarno pada 6 Mei 1957 adalah sebuah badan penasihat yang anggota-anggotanya mewakili berbagai kelompok politik, etnis, agama dan pekerjaan, termasuk anggota-anggota penting Kabinet dan Angkatan Bersenjata. Sekalipun oleh banyak orang dianggap sebagai saingan Kabinet, hal itu tidak benar, dan badan itu juga tidak banyak menambah kekuasaan Soekarno.