Persamaan mencolok dalam kebijakan politik Amerika Serikat terhadap Indonesia dan Vietnam selama tiga setengah tahun Kapitulasi Jepang mungkin sekali akan berlangsung lebih lama kalau tidak karena dua episode tak terduga, yang secara bersama-sama menyebabkan Amerika Serikat sama sekali mengubah sikapnya atas pertikaian Belanda-Indonesia dan cenderung akhirnya berpihak kepada Indonesia.
Episode pertama dan paling penting adalah pemberontakan Madiun, terjadi di Jawa tengah dari September hingga November 1948 dan dilakukan oleh suatu kelompok komunis Indonesia yang berorientasi pada Soviet yang menentang kepemimpinan Soekarno-Hatta, namun berhasil dipadamkan oleh Tentara Republik Indonesia setelah melakukan pertempuran sengit dan membunuh tokoh-tokohnya.[1] Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan, Belanda tidak bisa melanjutkan propagandanya bahwa Indonesia hanyalah sebuah jembatan menuju komunisme.
Indikasi paling jelas dari munculnya kebijakan politik Amerika Serikat yang baru tercermin dalam kegiatan CIA. Setelah nyata bahwa tentara Indonesia yang loyal kepada Soekarno-Hatta dapat menguasai pemberontakan komunis, CIA mengirim seorang agen senior ke Yogyakarta, ibukota Republik, dalam sebuah misi yang tidak pernah terpikirkan sebelum peristiwa itu terjadi. Ia segera mulai mewawancarai para perwira muda dari kesatuan Brigade Mobil (Brimob), memilih yang paling pandai, dan mengirim mereka ke tempat pelatihan militer Amerika Serikat melewati blokade Belanda untuk dilatih secara khusus. Kemarahan Belanda, yang angkatan udaranya tidak sanggup menghentikan eksodus itu, mudah dibayangkan.
Tampaknya, alasan bagi kebijakan rahasia tersebut adalah apabila pada akhirnya Republik menang atas Belanda, para perwira yang diatih di Amerika Serikat tidak saja akan menentang kebangkitan kembali komunis tetapi juga siapapun yang mendukung pemimpin komunis, Tan Malaka, yang telah lama melepaskan diri dari Uni Soviet dan yang pengikutnya telah bergabung dengan tentara Republik dalam menghadapi pemberontakan Madiun yang pro-Soviet. Program sosial-ekonomi kaum nasionalis komunis semakin menentang kepentingan ekonomi Barat di Indonesia dibanding dengan lawannya yang pro-Soviet yang telah ditaklukkan. Bila perlawanan terhadap Belanda terus berlanjut, jumlah mereka akan semakin banyak, demikian pula taktik bumi hangus terhadap properti Amerika Serikat dan Belanda yang mereka anjurkan.
Namun, perubahan yang menentukan dalam kebijakan politik Amerika Serikat memerlukan adanya elemen kedua yang melebihi sikap para pemimpin Indonesia yang anti-komunis. Elemen ini adalah tindakan Belanda yang dianggap sebagai ancaman bagi masa depan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Karena dengan melancarkan serangan-serangan gencar terhadap Republik pada akhir 1948, Belanda telah menolak anjuran PBB untuk menghentikan operasi militer mereka atau setidaknya mengundurkan diri dari ibukota Republik dan membebaskan Soekarno-Hatta dan tokoh politik lainnya yang mereka tangkap. Bila PBB yang baru terbentuk pada saat itu dan belum teruji kemampuannya untuk memaksakan keinginannya pada sebuah negara kecil seperti Belanda, tampaknya PBB segera akan berakhir karena dianggap tidak mampu seperti halnya Liga Bangsa-Bangsa.[2]
Melalui suatu serangan tiba-tiba, 19 Desember 1948, guna menunjukkan kepada dunia suatu kenyataan yang tak dapat disangkal, Belanda melancarkan operasi militer terakhir kepada Republik yang baru sekitar 6 minggu berhasil memadamkan pemberontakan Madiun, oleh sebab itu pasukan Indonesia menghadapi pasukan Belanda dalam keadaan lemah dan tidak terorganisir. Namun, pasukan Belanda menghadapi perlawanan pasukan Indonesia yang dibantu oleh pihak sipil, yang sama sekali tidak diduga oleh Belanda, sehingga pada akhir Maret mereka harus bertahan dalam situasi perang gerilya. Setelah mengerahkan tentara berkekuatan 140.000 orang, yang menyalahi kesepakatan yang diprakarsai Perserikatan Bangsa-Bangsa kurang dari setahun sebelumnya, Belanda menyadari mereka telah membangkitkan kemarahan PBB, dimana kebanyakan pendukungnya, termasuk Amerika Serikat, beralih menentang mereka.[3] (Prancis perlu dicatat tidak mengalami hambatan seperti itu dalam melaksanakan kebijakan militernya di Vietnam, karena Prancis – berbeda dengan Belanda – anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan sebab itu memiliki hak veto yang dapat menghindarkan masalah mereka dengan Vietminh dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan).
Sekalipun komunis Indonesia yang berorientasi dengan Soviet telah ditumpas, sejumlah pejabat penting Amerika Serikat mulai mengkhawatirkan kelompok anti-Stalin, komunis nasional yang dipimpin oleh Tan Malaka, akan mengambil keuntungan dari bentrokan militer antara Belanda dan Indonesia. Para pejabat tersebut melihat para pengikut Tan Malaka dan kaum radikal sosial-ekonomi lainnya berkesempatan memperoleh lebih banyak pengikut karena keadaan yang membingungkan banyak orang Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan kemudian menyadari tujuan itu terhambat karena Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, yang memiliki kepentingan ekonomi di Indonesia, terus mendukung Belanda. Bahkan, dengan perang gerilya berkepanjangan, bisa dikatakan makin banyak orang-orang Indonesia yang berpaling kepada tokoh-tokoh radikal dan meninggalkan Soekarno-Hatta yang tetap populer, namun sudah tidak berdaya karena ditahan oleh Belanda.[4] Selain kemungkinan itu, ada pertimbangan pragmatis bahwa perlawanan secara gerilya dengan melancarkan taktik bumi hangus terhadap perkebunan-perkebunan dan properti Belanda lainnya segera akan menghancurkan sebagain besar aset ekonomi yang berusaha dipertahankan pemerintah Belanda. Maka, kepentingan pribadi pengusaha Belanda menyebabkan gagalnya usaha mereka untuk bergabung dengan kaum liberal Belanda, yang sejak lama menentang perang itu. Kepentingan pribadi pengusaha Amerika Serikat atas investasi di Indonesia menyebabkan mereka mengalami hal yang sama, dan sudah pasti hal itu berpengaruh pada kebijakan politik Amerika Serikat.
Semua faktor tersebut secara bersamaan membuat anggota Kongres Amerika Serikat dan pejabat senior, yang sebelumnya kurang memperhatikan pertikaian Belanda-Indonesia atau cenderung memihak kepada Belanda, menekan Menteri Luar Negeri Dean Acheson yang memihak Belanda, sehingga ia tidak bisa mengelak lagi. Pada musim semi 1949, kebijakan politik Amerika Serikat berubah dan mendukung kepentingan Indonesia, sehingga perlawanan Indonesia terhadap Belanda mulai mereda, dan berakhir pada akhir Desember 1949.
Politik Non-Blok Indonesia
Jangan dikira perubahan kebijakan politik Amerika Serikat pada saat-saat terakhir menimbulkan rasa terima kasih di pihak pejuang Indonesia, yang membuat mereka bersedia bersekutu dengan Amerika Serikat dalam Perang Dingin, yang ketika itu sudah berkembang. Ada berbagai sebab mengapa negara-negara berkembang tetap berkembang pada politik non-blok – sikap yang sudah tentu tidak aneh di kalangan negara bekas penjajahan. Kecurigaan terhadap Uni Sovyet yang muncul karena keyakinan (sekalipun belum ada bukti langsung) bahwa negara komunis itulah yang mendukung terjadinya pemberontakan di Madiun, sama sekali tidak menghilangkan kecurigaan terhadap Amerika Serikat, karena negara itu telah lama mendukung Belanda. Tambahan lagi, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, November dan Desember 1949, saat dimana Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada Indonesia, wakil Amerika Serikat Merle Cochran, yang bertindak sebagai moderator, memihak Belanda dengan menuntut dua hal dari Indonesia. Mengingat bahwa Amerika Serikat masih prihatin dengan keadaan ekonomi Belanda, Cochran memaksa agar Indonesia menanggung hutang Hindia-Belanda sebesar 1,13 miliar dolar Amerika Serikat, 70% dari jumlah itu adalah hutang pemerintah kolonial, yang menurut Indonesia 42% diantaranya merupakan biaya operasional militer dalam menghadapi Indonesia. Mengingat mereka telah setuju agar investasi Belanda (dan pihak asing lainnya) di Indonesia akan dilindungi, persyaratan tersebut dilihat oleh semua pihak di Indonesia sangat tidak adil.[5] Jaminan pribadi yang diberikan Cochran kepada Indonesia bahwa mereka akan mendapat bantuan yang cukup besar dari Amerika Serikat untuk melunasi beban hutang tersebut terbukti kosong belaka ketika ternyata yang diberikan hanya 100 juta dolar saja dalam bentuk kredit ekspor-impor yang harus dibayarkan kembali.
Namun, dalam pengertian politik, konsesi yang paling penting dipaksakan Cochran adalah setengah bagian New Guinea (Irian Barat), yang secara geografis merupakan bagian penting Hindia-Belanda yang tidak diserahkan kepada Indonesia karena akan dibicarakan kemudian oleh Indonesia dan Belanda dalam waktu satu tahun. Penangguhan sementara atas wilayah jajahan itu dianggap – mungkin sekali benar – penting untuk menyenangkan kaum pejuang chauvinis Belanda yang dukungannya sangat diperlukan bagi disetujuinya perjanjian tersebut dalam parlemen Belanda.
Maka, ketika akhir Desember 1949 negara Indonesia yang berdaulat penuh tampil dalam arena internasional masih bersikap ramah kepada Amerika Serikat, dukungan pemerintah Truman di Washington atas pendirian Cochran dalam masalah hutang dan Irian Barat tampaknya makin menyadarkan Indonesia untuk tidak berpihak kepada kekuatan politik manapun.
*********
Duta besar pertama Amerika Serikat untuk Indonesia adalah Merle Cochran. Dikelilingi pendukung McCarthy di Washington pada awal 1950-an, ia yakin bisa memajukan karirnya apabila mampu membujuk Indonesia untuk melepaskan politik non-blok dan bergabung dengan Amerika Serikat.[6] Dengan mengabaikan nasihat para pakar di Departemen Luar Negeri, ia mencoba melakukan suatu tindakan kurang bijaksana pada Januari 1952 untuk memaksan kabinet Indonesia menandatangani perjanjian bantuan ekonomi dari Amerika Serikat, berbohong dengan mengatakan bahwa Kongres mensyaratkan adanya persekutuan politik luar negeri Indonesia dengan Amerika Serikat. Tanpa menyadari bahwa Cochran telah diberi instruksi bahwa konsesi semacam itu tidak diperlukan, pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani perjanjian itu sesuai dengan persyaratan yang diajukan oleh Duta Besar. Ketika media massa Indonesia mengetahui negara-negara non-blok lain, seperti Burma dan India, telah mendapat bantuan dari Kongres tanpa persyaratan politik luar negeri apapun, meledaklah kemarahan di seluruh spektrum politik Indonesia. Cochran telah mendapat teguran keras dari ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat karena telah melakukan tindakan yang tidak diperintahkan, dan ia tidak pernah lagi mendapat tugas untuk melaksanakan kebijakan luar negeri. Namun hubungan Amerika Serikat dan Indonesia saat itu sudah terlanjur hancur.
Kabinet Indonesia yang paling memihak Amerika Serikat muncul setelah kemerdekaan runtuh akibat protes keras masyarakat terhadap pelanggaran atas politik non-blok dan persepsi bahwa Duta Besar Amerika Serikat telah memanipulasi politik luar negeri Indonesia. Seperti dikatakan oleh Robert J.McMahon, “Insiden itu menjadi peringatan keras bagi Kabinet Indonesia selanjutnya atas resiko yang harus dihadapi jika terlalu dekat dengan Washington.”[7]
Namun, sebab yang lebih penting dari penghentian bantuan ekonomi tersebut adalah semakin marahnya para pemimpin Indonesia atas apa yang mereka lihat sebagai kolusi antara Amerika Serikat dan Belanda yang terus berlanjut dalam upaya mencegah masalah Irian Barat masuk dalam agenda PBB, dan dengan demikian mencegah mereka mendapatkan apa yang mereka anggap sebagai hak yang sah. Bahkan, orang Indonesia yang paling memihak Amerika Serikat sekali pun merasa kecewa dengan Amerika Serikat karena mereka tidak mengizinkan masalah Irian Barat dibicarakan dalam PBB, dan mereka menyadari bahwa terutama pengaruh Amerika Serikat lah – bukan Belanda – yang tidak memungkinkan tercapainya suara mayoritas agar masalah itu dimasukkan dalam agenda PBB.[8]
Para pejabat Amerika Serikat yang paling gigih menginginkan Irian Barat tetap dikuasai Belanda mengakui bahwa wilayah pemerintahan yang sedemikian besar dan terbelakang secara ekonomi itu akan menjadi beban bagi Belanda, tetapi mereka berpendapat bahwa nasionalisme Belanda akan meledak jika bendera negara itu tidak tetap berkibar di wilayah jajahan mereka yang masih tersisa itu. Mereka berpendapat jika Amerika Serikat mendukung perdebatan mengenai Irian Barat dalam PBB, maka resiko yang harus ditanggung adalah hancurnya loyalitas suatu komponen penting dalam NATO. Mengapa harus mengambil resiko demi kepentingan suatu negara yang menolak bersekutu dengan pihak Amerika Serikat ?
Kekuasaan Belanda atas Irian Barat kemudian menghambat hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan Belanda hingga tahun 1962, ketika masalah itu diselesaikan melalui PBB atas inisiatif Presiden John F.Kennedy. Tetapi, hingga saat itu upaya Indonesia di PBB selalu dihambat Belanda – dengan dukungan kuat dari Australia – yang terus menikmati dukungan rahasia Amerika Serikat, yang secara resmi bersikap netral terhadap masalah itu. Keadaan itu saja sudah cukup bagi Indonesia untuk tetap mempertahankan politik non-blok.
Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia (1995)
[1] Keterangan paling lengkap mengenai Pemberontakan Madiun dan latar belakangnya lihat Ann Swift, The Road To Madiun (Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project, 1989).
[2] Keterangan lengkap mengenai kebijakan Amerika Serikat atas perselisihan Indonesia-Belanda terdapat dalam McMahon, Colonialism and Cold War.
[3] Keterangan yang sangat lengkap mengenai peranan PBB dalam pertikaian Indonesia-Belanda terdapat dalam Alastair M.Taylor, Indonesian Independence and United Nations (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1960). Evaluasi yang cukup baik mengenai pentingnya faktor PBB dapat dibaca dalam Evelyn Colbert, The Road Not Taken: Decolonialization and Independence in Indonesia and Indochina, Foreign Affairs, April 1973, hlm.608-628.
[4] Pandangan ini jelas tampak dalam pembicaraan dengan pejabat-pejabat menengah Amerika Serikat di Jakarta dan Washington pada Maret-Juni 1949. Biro Intelijen Angkatan Laut Amerika Serikat adalah badan yang paling tertarik dengan masalah ini sejak akhir Januari memperingatkan “Aksi Polisional dan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan Belanda untuk menghancurkan kegiatan gerilya pasukan RI akan berakibat melemahnya pengaruh pemimpin Indonesia yang moderat dan memperkuat posisi ekstrimis dan komunis. Para pemimpin Indonesia yang moderat saat itu ditahan Belanda adalah para pemimpin lokal yang paling cakap dan berorientasi ke Amerika Serikat. Terus berlanjutnya kekacauan ekonomi dan sosial akan menguntungkan komunis karena menyediakan kesempatan yang baik bagi perkembangan dan meluasnya komunisme di wilayah yang memang sudah kacau. Karena para pemimpin yang moderat tidak berhasil mencapai persetujuan dengan Belanda melalui cara-cara damai, makin kerasnya tindakan-tindakan kaum ekstrimis dan komunis mungkin akan memperkuat pendapat mereka sebelumnya yakin tidak ada gunanya berunding dengan Belanda”, CIA, Consequences of Dutch “Police Action” in Indonesia, 27 Januari 1949, ORE 40-49, hlm.5. (Dokumen ini dibuka untuk umum dan disiarkan oleh CIA, 21 Juli 1992). Sekalipun Tan Malaka dibunuh oleh pasukan Indonesia, ada desas-desus yang berkembang selama beberapa bulan yang menyatakan bahwa ia masih hidup dan aktif memimpin perjuangan melawan Belanda.
[5] Keterangan lebih lanjut, lihat McMahon, Colonialism and Cold War, hlm.300-301, dan Kahin, Nationalism and Revolution, hlm.442-444 dan Taylor, Indonesian Independence and the United Nations, hlm.239-249, 438.
[6] Ini merupakan penilaian para ahili mengenai Indonesia di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang berbicara dengan salah satu penulis saat itu.
[7] McMahon, Colonialism and Cold War, hlm.321.
[8] Kecaman atas pemihakan Amerika Serikat kepada Belanda dilontarkan kepada penulis oleh Wakil Presiden Hatta, para pemimpin Masjumi, PNI, dan partai-partai sosialis serta Presiden Soekarno dalam pembicaraan dengan mereka selama 1954-56 (George McT.Kahin)